Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

Menyelaraskan Tujuan Pembelajaran dengan Kesejahteraan Psikologis

Optimismemedia.com – Pendidikan merupakan fondasi penting dalam pembangunan manusia dan masyarakat. Namun, dalam menjalankan peran ini, sistem pendidikan sering kali mengabaikan aspek kesehatan mental peserta didik. Pendidikan yang berorientasi pada hasil akademik sering kali membebani siswa dengan tuntutan yang berlebihan, yang dapat memicu gangguan kesehatan mental seperti stres, kecemasan, hingga depresi.

Berdasarkan laporan WHO pada 2023, prevalensi gangguan mental di kalangan remaja meningkat secara signifikan, sebagian besar dipengaruhi oleh tekanan dari lingkungan pendidikan. Oleh karena itu, membahas keterkaitan antara pendidikan dan kesehatan mental menjadi sangat relevan untuk memastikan bahwa pendidikan tidak hanya mendidik pikiran, tetapi juga menjaga kesejahteraan jiwa.

Sistem pendidikan tradisional yang sangat kompetitif sering kali memandang kesuksesan hanya dari hasil ujian dan nilai akademik. Tokoh pendidikan seperti Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa pendidikan harus bersifat humanis, memberikan ruang bagi siswa untuk berkembang tanpa merasa tertekan oleh struktur yang kaku. Sebaliknya, model pendidikan saat ini sering kali menciptakan lingkungan yang penuh tekanan, di mana siswa harus memenuhi ekspektasi tinggi tanpa memerhatikan kondisi emosional mereka.

Baca juga: Adopsi AI di Indonesia: Belajar dari Pengalaman Negara Maju

Hal ini tercermin dalam novel The Catcher in the Rye karya J.D. Salinger, di mana Holden Caulfield, tokoh utama, merasa terasing dari sistem pendidikan yang tidak peduli pada keunikan individu. Konflik batin yang dialami Holden menggambarkan bagaimana tekanan sosial dan pendidikan yang tidak inklusif dapat memperburuk kesehatan mental seorang remaja. Ini menunjukkan bahwa pendidikan yang tidak mendukung kesejahteraan psikologis peserta didik berpotensi menciptakan individu yang tertekan secara emosional.

Tekanan akademik yang berlebihan memiliki dampak nyata terhadap kesehatan mental siswa. Studi oleh American Psychological Association (APA) pada 2022 menunjukkan bahwa 60% siswa sekolah menengah di Amerika Serikat mengalami kecemasan terkait ujian dan tugas sekolah. Dalam konteks Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat lonjakan kasus siswa yang mengalami gangguan kesehatan mental akibat beban belajar selama pandemi COVID-19. Hal ini diperburuk oleh perubahan mendadak ke sistem pembelajaran daring, yang menambah isolasi sosial dan tekanan emosional.

Selain itu, berita aktual tentang kasus bunuh diri siswa di beberapa negara, termasuk Jepang, sering kali menunjukkan hubungan langsung antara tekanan pendidikan dengan kesehatan mental. Seorang siswa di Prefektur Saitama, Jepang, dilaporkan mengambil nyawanya sendiri pada 2023 setelah merasa tidak mampu memenuhi ekspektasi akademik yang tinggi dari orang tua dan sekolahnya. Kasus ini menggambarkan bagaimana tekanan yang tidak sehat dari lingkungan pendidikan dapat berujung pada tragedi.

Pendidikan yang berorientasi pada kesehatan mental memerlukan pendekatan holistik yang tidak hanya fokus pada aspek kognitif, tetapi juga emosional dan sosial. Psikolog Carl Rogers, dalam teorinya tentang person-centered learning, menekankan pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang mendukung kebutuhan emosional siswa. Pendekatan ini mendorong pendidikan untuk lebih fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan individu, sehingga siswa merasa dihargai dan didukung.

Langkah-langkah seperti mengintegrasikan pendidikan karakter, memberikan pelatihan mindfulness, dan menyediakan akses ke layanan konseling di sekolah adalah beberapa cara yang dapat diambil untuk mendukung kesehatan mental siswa. Program seperti Social and Emotional Learning (SEL) yang diimplementasikan di beberapa sekolah di Amerika Serikat telah terbukti efektif dalam meningkatkan kesejahteraan emosional siswa sekaligus mendukung pencapaian akademik mereka.

Dalam era digital, tekanan terhadap siswa semakin kompleks dengan adanya media sosial dan teknologi. Studi oleh Royal Society for Public Health pada 2022 menemukan bahwa media sosial sering kali menjadi sumber kecemasan bagi remaja, terutama karena tekanan untuk menunjukkan citra diri yang sempurna. Hal ini menambah beban psikologis yang sudah berat dari sistem pendidikan formal.

Namun, era digital juga menawarkan peluang untuk mendukung kesehatan mental siswa. Platform seperti Calm dan Headspace, misalnya, dapat digunakan untuk mengajarkan mindfulness kepada siswa. Selain itu, teknologi dapat digunakan untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan adaptif, seperti melalui aplikasi yang menyediakan materi pembelajaran dengan kecepatan yang sesuai dengan kemampuan individu.

Pendidikan yang berorientasi pada hasil akademik semata tidak lagi relevan di tengah tantangan kesehatan mental yang semakin kompleks. Sistem pendidikan perlu beradaptasi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan psikologis siswa. Dengan mengadopsi pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek kognitif, emosional, dan sosial, pendidikan dapat menjadi alat untuk memberdayakan individu secara utuh.

– Bersama Membangun Optimisme –

#optimismemedia #mulaiajadulu #kamibarumulai

Bagikan

Cari Berita

Search

Berita Terbaru

dsss
Santri dan Media: Menyelaraskan Tradisi dan Teknologi
LLLLL
Menyelaraskan Tujuan Pembelajaran dengan Kesejahteraan Ps...
Sumber. Inews.id
Dari Desa Nepo ke Pasar Nasional: Sukses Kacang Nepo Berk...
rrrss
Dari Siwaslih hingga Sigaplapor: Teknologi Bawaslu Siap K...
WhatsApp Image 2024-11-24 at 10.26.46 PM
Seruan FKUB Jateng: Tolak Politik Uang, Hindari Politisas...

Kirim Artikel