Optimismemedia.com – Setiap tanggal 28 Oktober, kita memperingati Hari Sumpah Pemuda untuk mengenang semangat persatuan yang diikrarkan oleh para pemuda dari seluruh Nusantara pada tahun 1928. Sumpah Pemuda menegaskan komitmen untuk mengutamakan identitas nasional sebagai bangsa Indonesia di atas berbagai perbedaan suku, agama, dan golongan. Namun, di tengah peringatan tersebut, kita juga dihadapkan pada tantangan kebebasan beragama yang semakin meresahkan, terutama ketika berbagai kelompok masih kerap mengalami diskriminasi berdasarkan identitas keagamaan mereka. Refleksi Sumpah Pemuda dalam konteks ini mengajak kita untuk memikirkan bagaimana cita-cita persatuan dapat terus hidup di tengah tantangan krisis kebebasan beragama yang masih sering kita hadapi hari ini.
Indonesia telah mengakui kebebasan beragama dalam konstitusinya, tetapi di lapangan, pelaksanaannya masih menghadapi tantangan serius. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dalam laporannya pada 2022 menyebutkan bahwa kasus diskriminasi berbasis agama di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Penelitian ELSAM menunjukkan bahwa lebih dari 300 kasus diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama terjadi sepanjang tahun 2022, termasuk insiden pelarangan ibadah, vandalisme rumah ibadah, hingga penyerangan fisik terhadap anggota kelompok tertentu.
Baca juga: Pemuda Indonesia dan Tantangan Kebhinnekaan: Refleksi Sumpah Pemuda dalam Perspektif Kekinian
Sebuah studi dari Human Rights Watch (HRW) pada tahun 2023 juga menunjukkan bahwa kebebasan beragama di Indonesia masih rentan terhadap tekanan sosial dan politik. Dalam laporannya, HRW menyoroti praktik pelarangan ibadah bagi kelompok minoritas, terutama di daerah-daerah dengan tingkat konservatisme agama yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa krisis kebebasan beragama bukanlah isu yang bisa diabaikan, karena praktik intoleransi masih sering mengancam hak asasi warga negara untuk menjalankan keyakinan mereka tanpa rasa takut.
Dalam menghadapi krisis kebebasan beragama ini, penting untuk merenungkan pendapat tokoh-tokoh yang memandang pentingnya semangat persatuan dan toleransi beragama. Pemikir kebangsaan Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), melalui karyanya Islamku, Islam Anda, Islam Kita, berpendapat bahwa kebebasan beragama merupakan fondasi dari negara yang berkeadilan. Gus Dur mengatakan bahwa “Indonesia adalah milik semua orang Indonesia, terlepas dari agamanya,” yang menekankan bahwa bangsa yang kuat adalah bangsa yang bisa menerima perbedaan sebagai bagian dari identitasnya.
Senada dengan Gus Dur, Yenny Wahid, aktivis hak asasi manusia dan putri Gus Dur, dalam berbagai kesempatan juga menekankan bahwa toleransi adalah satu-satunya jalan untuk menjaga persatuan di Indonesia. Menurutnya, keberagaman agama bukan ancaman melainkan kekayaan, dan kebijakan negara seharusnya menjamin setiap warga negara untuk dapat menjalankan keyakinannya tanpa hambatan. Yenny berpendapat bahwa pemerintah harus hadir lebih kuat dalam menindak pelanggaran kebebasan beragama untuk mencegah intoleransi yang bisa berujung pada perpecahan.
Selain Gus Dur dan Yenny Wahid, peneliti dari Setara Institute, Ismail Hasani, dalam penelitiannya menyebutkan bahwa toleransi harus dijaga dengan regulasi yang jelas dan konsisten. Dalam laporannya, Setara Institute menyatakan bahwa “aturan dan hukum harus dijadikan sebagai alat pemersatu, bukan pemisah.” Menurut Setara Institute, regulasi yang tidak tegas terhadap pelaku intoleransi justru menciptakan rasa ketidakpercayaan antara kelompok-kelompok agama yang berbeda.
Peran Pemuda dalam Mewujudkan Kebebasan Beragama
Refleksi Sumpah Pemuda dalam konteks krisis kebebasan beragama hari ini mengajak pemuda untuk mengambil peran lebih aktif dalam menjaga kebebasan beragama. Sebagai generasi penerus, pemuda dapat menjadi agen perubahan yang memperjuangkan hak-hak kebebasan beragama. Penulis dan aktivis Alissa Wahid, melalui program Jaringan Gusdurian, menekankan pentingnya pendidikan tentang pluralisme di kalangan pemuda. Menurutnya, pemuda harus dibekali dengan pemahaman mengenai pentingnya toleransi dan keberagaman dalam kehidupan berbangsa, karena ini merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan Sumpah Pemuda dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, dalam era digital saat ini, pemuda juga diharapkan bisa memanfaatkan teknologi untuk memperkuat semangat persatuan dan saling menghormati. Pemanfaatan media sosial sebagai platform untuk menyebarkan nilai-nilai toleransi sangat potensial, terutama di tengah maraknya hoaks dan ujaran kebencian yang sering kali memperkeruh hubungan antaragama. Peneliti komunikasi dan pakar media sosial, Damar Juniarto, dalam kajiannya tentang media digital, menyatakan bahwa “pemuda harus menjadi agen anti-hoaks yang aktif, yang mampu menyaring dan menyebarkan informasi yang benar.” Ini berarti, pemuda tidak hanya berperan sebagai konsumen informasi, tetapi juga sebagai penggerak opini publik yang bisa mengubah persepsi masyarakat tentang keberagaman.
Baca juga: Deklarasi Perdamaian di Solo Raya: Pemuda Lintas Agama Bersatu untuk Keharmonisan
Pada tataran kebijakan, refleksi Sumpah Pemuda juga mengarah pada perlunya reformasi hukum yang mendukung kebebasan beragama secara inklusif. Akademisi dan ahli hukum Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Konstitusi dan Kebebasan Beragama menekankan bahwa negara harus memperkuat regulasi yang bisa melindungi hak beragama seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Menurut Jimly, kebijakan yang melindungi kebebasan beragama adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang harmonis, dan ini adalah tanggung jawab pemerintah sebagai penjaga keutuhan bangsa.
Laporan dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina pada tahun 2023 juga menggarisbawahi pentingnya kebijakan yang inklusif dalam menangani isu kebebasan beragama. Penelitian PUSAD menemukan bahwa di wilayah-wilayah dengan kebijakan yang mendukung kebebasan beragama, konflik berbasis agama jauh lebih rendah dibandingkan wilayah yang regulasinya bersifat diskriminatif. Penelitian ini menjadi bukti bahwa kebijakan yang inklusif dan tegas bisa menciptakan masyarakat yang lebih damai dan toleran.
Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak sejarah persatuan bangsa Indonesia sejatinya bukan sekadar seremonial, melainkan nilai hidup yang harus kita jaga di tengah tantangan krisis kebebasan beragama hari ini. Para tokoh dan penelitian di atas menegaskan bahwa kebebasan beragama adalah elemen penting dalam menjaga persatuan bangsa. Ketika setiap individu dihargai dan bebas menjalankan keyakinannya, maka semangat persatuan seperti yang diimpikan oleh para pemuda pada tahun 1928 dapat benar-benar terwujud.
Pemuda masa kini memiliki peran penting dalam membawa semangat persatuan ke dalam kehidupan nyata, dengan cara berperan aktif sebagai penjaga toleransi dan penghormatan terhadap keberagaman. Peringatan Hari Sumpah Pemuda bukan hanya untuk mengenang, melainkan menjadi pengingat bahwa persatuan dalam keberagaman adalah cita-cita besar bangsa Indonesia. Dengan mengedepankan toleransi dan kebebasan beragama, kita semua dapat berkontribusi dalam mewujudkan Indonesia yang damai dan bersatu di tengah keberagaman yang ada.
– Bersama Membangun Optimisme –
#optimismemedia #mulaiajadulu #kamibarumulai