Optimismemedia.com – Setiap tahun pada tanggal 28 Oktober, Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda sebagai momen bersejarah ketika pemuda dari berbagai daerah dan suku di Nusantara bersumpah untuk satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Tujuh puluh enam tahun setelah peristiwa tersebut, makna Sumpah Pemuda masih relevan, terutama dalam menghadapi tantangan sosial, politik, dan ekonomi yang semakin kompleks. Di era globalisasi, digitalisasi, dan maraknya konflik identitas, refleksi Hari Sumpah Pemuda memberikan kita kesempatan untuk memahami bagaimana semangat persatuan dan kesatuan bisa tetap hidup dalam konteks hari ini.
Dalam konteks kekinian, kebhinnekaan Indonesia masih dihadapkan pada berbagai tantangan, mulai dari isu politik identitas hingga konflik sosial berbasis agama dan suku. Tokoh pemikir sosial dan mantan Menteri Pendidikan Anies Baswedan dalam bukunya Menyelami Indonesia menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara identitas lokal dan nasional. Menurutnya, “Kebhinnekaan adalah kekayaan, bukan alasan untuk berselisih.” Refleksi Sumpah Pemuda di era ini harus diarahkan pada upaya menjaga keseimbangan ini, agar perbedaan menjadi sumber kekuatan, bukan pemecah belah.
Sumpah Pemuda seharusnya mendorong kita untuk merayakan perbedaan dengan semangat inklusif, bukan eksklusif. Dalam pandangan Anies Baswedan, identitas sebagai bagian dari suatu suku, agama, atau daerah harus dilihat sebagai komponen dari ke-Indonesia-an yang lebih luas, bukan penghambat persatuan. Di era digital, di mana informasi beredar dengan cepat dan seringkali tanpa filter, pemuda diharapkan dapat bijak menyikapi arus informasi yang berpotensi menimbulkan konflik identitas.
Baca juga: Dari Hak Perempuan hingga Demokrasi Digital: Beragam Topik Hangat di ICIR 6 Ambon
Literasi digital menjadi salah satu aspek penting dalam menjaga semangat persatuan dan kesatuan di kalangan pemuda. Pengamat media sosial dan peneliti dari Digital Literacy Research Institute, Alexander Thian, menyatakan bahwa “kehadiran media sosial telah memberikan ruang yang luas bagi pemuda untuk berpartisipasi dalam berbagai diskusi kebangsaan.” Namun, ia juga memperingatkan bahwa penggunaan media sosial tanpa pemahaman yang baik tentang literasi digital dapat memicu disinformasi dan hoaks yang merusak persatuan.
Dalam konteks ini, literasi digital tidak hanya sekadar keterampilan untuk menggunakan perangkat teknologi, tetapi juga keterampilan berpikir kritis dalam menyaring informasi yang ada. Pemuda masa kini dituntut untuk tidak hanya aktif, tetapi juga bijak dalam menggunakan media sosial sebagai sarana mengekspresikan kecintaan pada bangsa. Menjadi bagian dari Sumpah Pemuda versi modern berarti mampu memanfaatkan teknologi untuk mempersatukan, bukan untuk memecah belah.
Pendidikan Karakter dan Tantangan Moral Pemuda Hari Ini
Pendidikan karakter juga menjadi bagian penting dari upaya menjaga semangat Sumpah Pemuda dalam kehidupan sehari-hari. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Nadiem Makarim, menekankan pentingnya membangun karakter pemuda sebagai individu yang berintegritas dan memiliki semangat gotong royong. Dalam pandangannya, sistem pendidikan harus mampu mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kecerdasan emosional dan sosial yang tinggi.
Nadiem, dalam berbagai kesempatan, sering menekankan bahwa “karakter adalah fondasi dari setiap individu yang siap memimpin di masa depan.” Melalui program Merdeka Belajar, Nadiem berupaya membentuk pendidikan yang menekankan nilai-nilai kebersamaan, rasa tanggung jawab, dan kejujuran di kalangan generasi muda. Program ini mengingatkan kembali pada nilai-nilai yang terkandung dalam Sumpah Pemuda, yaitu pentingnya semangat persatuan yang dibangun di atas dasar karakter yang kuat.
Menyikapi Nasionalisme dalam Globalisasi: Tantangan dan Peluang
Globalisasi membawa banyak tantangan baru yang menguji semangat nasionalisme di kalangan pemuda. Alih-alih melihat globalisasi sebagai ancaman, nasionalisme yang ditanamkan dalam diri pemuda masa kini perlu bertransformasi menjadi nasionalisme adaptif. Ahli ekonomi dan politik internasional Kishore Mahbubani dalam bukunya Can Asians Think? menyarankan bahwa nasionalisme di era modern harus bersifat inklusif dan adaptif terhadap perubahan global. Menurut Mahbubani, nasionalisme adaptif adalah nasionalisme yang tidak menolak modernisasi dan globalisasi, namun tetap menjaga jati diri bangsa.
Dalam konteks Indonesia, pemuda masa kini harus mampu menghadapi pengaruh budaya asing tanpa kehilangan akar budayanya sendiri. Sumpah Pemuda, sebagai salah satu fondasi persatuan, seharusnya mampu memberikan pemuda Indonesia pijakan kuat untuk menjaga jati diri bangsa, meskipun mereka terpapar oleh globalisasi. Melalui nasionalisme adaptif, pemuda dapat memanfaatkan peluang global untuk membangun bangsa dan menjaga keutuhan bangsa di tengah perubahan dunia.
Sumpah Pemuda yang digaungkan oleh para pendahulu merupakan komitmen untuk bersatu sebagai bangsa meskipun berasal dari latar belakang berbeda. Hari ini, tantangan yang dihadapi pemuda memang berbeda, tetapi esensinya tetap sama: mempertahankan persatuan dalam keberagaman. Dalam pidatonya, Bung Karno pernah mengatakan bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.” Melalui refleksi Sumpah Pemuda, pemuda masa kini diharapkan menghargai jasa para pendahulu dengan melanjutkan perjuangan mereka dalam menjaga persatuan.
Membangun persatuan di era modern tidak harus selalu dengan pertempuran fisik, tetapi dengan pemikiran, karya, dan kontribusi nyata untuk bangsa. Sumpah Pemuda hari ini tidak lagi hanya soal satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air; tetapi tentang satu tekad untuk menjaga Indonesia agar tetap utuh dan berdaulat di tengah tantangan global. Pemuda sebagai pewaris bangsa harus mampu melanjutkan warisan Sumpah Pemuda ini, dengan semangat kebersamaan dan jiwa persatuan yang kuat.
– Bersama Membangun Optimisme –
#optimismemedia #mulaiajadulu #kamibarumulai