Optimismemedia.com – Keputusan PBNU mengenai perizinan tambang menuai respon yang beragam, baik dari kalangan Nahdliyin dan non Nahdliyin, Seperti pro dan kontra terhadap isu lingkungan yang sedang menjadi perdebatan antara aktivis lingkungan dan intlektual muslim NU melalui jalan pikirannya masing-masing dan melalui pendekatannya masing-masing. Keduannya melihat kenyataan ini dengan kacamata yang berbeda, para aktivis lingkungan melihatnya dengan pendekatan yang cenderung ideologis, sementara para intlektual muslim melihatnya melalui kacamata fikih.
Isu lingkungan selalu disuarakan oleh para aktivis lingkungan, bahwa pengelolaan lingkungan yang berdampak terhadap perubahan iklim adalah masalah nyata yang perlu diatasi. Ketakutan ini berdasar pada data ilmiyah yang dikemukakan oleh sebagian besar para ilmuwan. Pada konteks sekarang dapat kita lihat bahwa batu bara adalah salah satu penyumbang terbesar emisi karbondioksida yang menyebabkan pemanasan global.
Baca juga: Pentingnya Edukasi dan Mitigasi Bencana Banjir
Salah satu tokoh yang merespon isu ini, adalah KH. Ulil Abshar Abdalla yang biasa disapa Gus Ulil, beliau merespon hal ini dengan tulisannya yaitu fikih lingkungan.
Dalam hal ini Gus Ulil mengusulkan fikih lingkungan sebagai pendekatan yang selaras dengan ajaran Islam, beliau menolak pandangan para aktivis lingkungan yang menggunakan narasi berlebihan dan menakut-nakuti, bisa dikatakan mereka terlalu su’udzon yang dimana dalam islam, hal ini kurang baik, dalam fikih lingkungannya, Gus Ulil menggunakan pendekatan reasonable environmentalism atau lingkungan yang masuk akal.
Dalam gagasannya beliau mengutip dalam buku “False Alarm” karya Bjorn Borg, menurut Bjorn Borg untuk menyikapi isu lingkungan perlunya analisis yang objektif dan data yang akurat, bukan hanya ketakutan yang tidak berdasar.
Gagasan fikih lingkungan yang Gus Ulil sampaikan berkelindang dalam pembedaan antara fikih lingkungan dan ideologi lingkungan, menurut beliau pendekatan fikih justru tidak menekankan pada aspek halal dan haram, melainkan menekankan dalam aspek ibahah kebolehan selagi tidak ada dalil agama yang mengharamkannya.
Dalam hal tambang tidak ada dalil yang mengharamkan tambang secara esensinya (lidzatihi), namun demikian perkara tidak ada dalil yang mengharamkan, jika tambang dihadapkan dengan dampaknya yaitu pencemaran lingkungan, pemanasan global, bencana alam, kesehatan, keselamatan dan lain sebagainya yang dimana antara mashlahah dan mafsadat lebih besar mafsadatnya, hal ini berdasarkan prinsip kaidah-kaidah fikih (qowaid al-fiqh) dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil mashalih dengan demikian industri tambang bisa menjadi haram (lighoirihi).
Dalam konteks tambang, menghindari kerusakan lebih diutamakan atas mengambil manfaat. Ketika membuat keputusan persoalan tambang tentu tidak lepas untuk menimbang antara kerusakan dan kemanfaatan, pada dampaknya yang berpotensi dapat merusak alam, kesehatan dan keselamatan manusia, bisa jadi untuk menghentikan operasi tambang tersebut lebih diutamakan, meskipun memberikan manfaat ekonomi yang besar.
Baca juga: Urgensi Edukasi Tentang Gempa Bumi dan Tsunami
Dalam pengelolaan tambang sendiri dalam pelaksanaannya terdapat mafsadat yang menyebabkan emisi karbondioksida sebagai sumber utama pemanasan globaldan untuk meninggalkannya terdapat mafsadat yang menimbulkan kekacauan yang sangat besar juga. Dalam situasi dilema ini fikih menawarkan prinsip Idza ta’aradlat al-mafsadatani ru’iyat akhaffuhuma (jika terdapat dua kerusakan yang saling bertentangan, maka yang lebih ringan dari keduanya yang dipilih).
Dalam praktek tambang, kedua prinsip tadi mendorong untuk mengambil keputusan harus mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin terjadi dengan meminimalkannya. Seperti inilah prinsip dasar fikih sehingga menjadikan fikih selalu aktual.
Lalu bagaimana dengan dampak ekologis pertambangan yang disuarakan oleh para aktivis lingkungan? Mereka meringkaskan filosofi deep ecology agar fikih lingkungan memasukan dimensi kritisnya, Deep ecology merupakan subuah filosofi lingkungan yang dibawa oleh Arnee Naes seorang filsuf asal Norwegia pada tahun 1970-an, Konsep ini menekankan hubungan antara alam dan manusia berikut dangan cara pandangnya, Deep ecology bukan hanya sekedar menjaga lingkungan saja tetapi juga menghargai alam dan nilai interisiknya (Rachman, 2024.)
Para aktivis lingkungan berargumen bahwa dampak ikilm yang terjadi di alam ini disebabkan oleh aktivitas manusia dan untuk segera mengambil tindakan drastis untuk menghentikannya. Hal ini selaras dengan pemahaman para filsuf muslim pada abad klasik menganai alam, bahwa alam adalah bentuk manifestasi Tuhan (tajalli) dengan paham tajalli ini, seseorang muslim yang beriman harap menghormati alam sebagai ciptaan Allah.
Pada kasus krisis ekologis yang sudah terjadi yang cenderung berakar pada masalah ekonomi dan dimensi nilai, khususnya filsafat dan agama, sehingga untuk mengatasinya memerlukan perubahan pemahaman teks-teks keagamaan agar bersifat ekologis, dari sinilah perlunya memasukan deep ecology pada perbincangan fikih lingkungan.
Dimana agama mengajakarkan tentang makna alam dan manusia, dan bagaimana antara keduannya membangun relasi, maka para aktivis lingkungan menyuarakan untuk mengatasi krisis ekologi perlu adanya penafsiran teks-teks agama yang bersifat ekologis. Sehingga dapat melahirkan fikih yang ekosentris.
Baca juga: HAM Tidak Sependek Hak Kebebasan Berpendapat
Para aktivis lingkungan juga mengkritik pendapat Bjorn Lomborg yang menjadi salah satu argumentasi fikih lingkungannya Gus Ulil, yang terlalu meremehkan dampak perubahan iklim dan menganggap kepanikan terhadap perubahan iklim yang berlebihan justru berbahaya, para ahli juga mengkritik pandangan dan analisis Lomborg yang dianggap tidak memadai untuk menangani kompleksitas perubahan iklim, dan ia juga gagal dalam konsensus ilmiah tentang urgensi perubahan iklim serta masih banyak kritik para ilmuwan lingkungan yang menganggap pandangan Lomborg cenderung menyesatkan.
– Bersama Membangun Optimisme –
#optimismemedia #mulaiajadulu #kamibarumulai