Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

Dilema Olimpiade Paris 2024: Antara Keterbukaan dan Ketertutupan

Optimismemedia.com – Olimpiade, gelaran empat tahun sekali dengan beragam cabang olahraga pada tahun ini diselenggarakan di Paris, Perancis. Gelaran yang dikenal dengan Olimpiade XXXIII ini digelar di Paris bukan kali pertamanya, tetapi telah menginjak ke tiga kalinya di setelah tahun 1900 dan 1924.

Hajatan empat tahun sekali yang diadakan di negara sekuler ini ternyata masih menuai berbagai kontroversi, khususnya pada sesi pembukaan atau opening. Hal itu terlihat secara jelas bagaimana adegan perjamuan terakhir yang berkonotasi mengolok-olok agama, adegan dipenggalnya sang ratu, dan terbukanya bagi gerakan suportif para komunitas keragaman gender dan seksualitas.

Terkait komunitas keragaman gender dan seksualitas, Olimpiade Paris 2024 berupaya untuk menjadi inklusif dan suportif. Olimpiade akan menampilkan berbagai inisiatif yang mempromosikan kesetaraan dan keberagaman, termasuk penjangkauan dan dukungan khusus untuk atlet dan penonton dengan berbagai ragam gender dan seksualitas. Hal ini sejalan dengan tujuan Olimpiade yang lebih luas untuk merayakan keberagaman dan menumbuhkan semangat inklusivitas di semua aspek acara​ Olimpiade Paris 2024.

Baca juga: ‘SEA Project’, Program PUKAPS Berikan Pendidikan Seksual Komprehensif Bagi Kaum Muda Se-Solo Raya

Memang, negara yang bukan berlandaskan agama ini memiiki filosofinya sendiri yang dapat dilacak hingga kurun abad ke-18 M. Perisitiwa Revolusi Perancis adalah cikal bakalnya, semua warga Perancis dengan tegas menantang segala bentuk sistem yang mengusung ketertindasan yang mengekang kebebasan individu mereka. Sehingga tatanan nilai berlandaskan agama, moral dan sosial tidak berlaku disana.

Maka tak heran, jika LGBT yang mengusung kebebasan individual lahir dari negeri tersebut. Bahkan, Perancis adalah negara pertama yang mengakui hak-hak LGBT secara hukum. Homoseksualitas telah dilegalkan sejak 1791. Kemudian pernikahan sesama jenis pada 2013 yang memungkinkan pasangan sesama jenis untuk menikah dan mengadopsi anak.

Dalam upacara pembukaan atau opening Olimpiade Paris 2024 menyita perhatian publik. Sebab teradapt salah satu penampilan yang melibatkan 18 artis transpuan yang memparodikan lukisan terkenal karya Leonardo da Vinci, ‘Perjamuan Terakhir’. Para artis ini mengenakan kostum mencolok, mulai dari pakaian setengah terbuka, ekspresi cinta sesama jenis, hingga seorang artis di tengah yang dicat biru dan hanya mengenakan celana pendek.

Dengan tagline “Olimpiade: Interpretasi Dewa Yunani Dyonisus membuat kita sadar absurditas kekerasan di antara manusia” yang ditemukan di akun X rersmi Olimpiade menyimpan makna mendalam mengenai kekerasan yang sering kali dilakukan oleh manusia. Namun, tak berhenti disitu, ‘Perjamuan Terakhir’ yang menceritakan tentang Yesus dan 12 muridnya sebelum dieksekusi oleh Romawi pun diparodikan dan memunculkan reaksi yang diduga menghinda Kekristenan.

Selain itu, terdapat pula kontroversi lainnya, namun kiranya malah meruntuhkan prinsip kebebasan negara Perancis, yakni pelarangan penggunaan hijab bagi atlet tuan rumah. Hal itu dinyatakan langsung oleh Pemerintah Perancis sejak tahun 2023 lalu dengan dalih “netralitas mutlak bagi pelayanan publik”.

Kali ini Pemerintah Perancis gagal dalam mengimplementasikan prinsip negaranya sendiri, kebebasan yang berkaitan dengan inklusifitas dinodai dan dipolitisasi oleh sebagaian pihak.

Baca juga: Melihat Fenomena Pernikahan Anak di Pondok Pesantren

Padahal, Menurut standar hak asasi manusia internasional, pembatasan ekspresi beragama atau kepercayaan seperti pilihan busana hanya dapat diterima dalam keadaan yang sangat spesifik. Tidak ada pembuat kebijakan yang memiliki hak untuk menentukan apa yang boleh atau tidak boleh dikenakan oleh seorang wanita. Wanita tidak boleh dipaksa untuk memilih antara berolahraga dan mengikuti keyakinan, identitas budaya, atau kepercayaannya.

Pemerintah seakan-akan tidak konsisten dalam menjalankan prinsip negara, tindakan represif masih menyasar pada kelompok-kelompok minoritas. Hal itu menunjukan bahwa kebebasan dalam negara yang memiliki prinsip kebebasan pun perlu ditinjau kembali.

– Bersama Membangun Optimisme –

#optimismemedia #mulaiajadulu #kamibarumulai

Bagikan

Cari Berita

Search

Berita Terbaru

dsss
Santri dan Media: Menyelaraskan Tradisi dan Teknologi
LLLLL
Menyelaraskan Tujuan Pembelajaran dengan Kesejahteraan Ps...
Sumber. Inews.id
Dari Desa Nepo ke Pasar Nasional: Sukses Kacang Nepo Berk...
rrrss
Dari Siwaslih hingga Sigaplapor: Teknologi Bawaslu Siap K...
WhatsApp Image 2024-11-24 at 10.26.46 PM
Seruan FKUB Jateng: Tolak Politik Uang, Hindari Politisas...

Kirim Artikel