Tradisi Mobowa Tumpe merupakan tradisi tahunan yang diadakan masyarakat Kecamatan Batui.Tradisi ini yang menghubungkan dua kerajaan besar di Sulawesi Tengah, mencakupi Kerajaan Banggai, Kerajaan Banggai Kepulauan.
Menurut cerita yang telah berkembang pada masyarakat Banggai khususnya masyarakat yang berada di Kecamatan Batui, tradisi ini telah di lakukan masyarakat Batui kurang lebih 1600 tahun yang lalu dan masih bertahan hingga sekarang. Tradisi ini merupakan wujud pengabdian masyarakat Batui terhadap Raja Banggai yang sampai saat ini masih tetap dilestarikan oleh masyarakat Banggai. Mombowa Tumpe dalam bahasa saluan memiliki arti “membawa telur”, ini merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat Banggai setahun sekali, tepatnya dilaksanakan pada akhir bulan dalam tahun masehi.
Silaturahmi Antara Keluarga Raja
Masyarakat percaya bahwa tradisi Mombowa Tumpe sebagai bentuk tetap terjalinnya silaturahmi yang menghubungkan dua kerajaan besar di Sulawesi Tengah, Kerajaan Banggai atau yang dikenal saat ini Banggai Laut. Menurut cerita bahwa Raja Banggai Laut merupakan saudara kandung dari Raja Banggai. Hal ini ditandakai dengan pemberian sepasang Burung Maleo oleh Raja Matindok kepada raja Banggai pada saat pergi ke pulau Jawa, selanjutnya beberapa tahun kemudian disusul oleh kelahiran anak dari istri keduanya, dari hasil pernikahannya dengan anak dari Raja Mantindok bernama Siti Aminah. Siti Amini kemudian melahirkan seorang anak yang bernama Abu Kasim yang kemudian Abu Kasim menjadi Raja Banggai menggantikan posisi kakenya Ali Asine.
Baca juga: Pencak Silat di Ambang Bahaya: Sebuah Ancaman Kelompok Ekstrimisme
Sebelumnya, Abu Kasim tidak mau menjadi raja Banggai, maka diceritakan Abu Kasim melakukan perjalanan selama 40 hari ke Jawa untuk bertemu dengan ayahnya, Andi Soko guna meminta pendapatnya. Berkat dengan cincin pemberian ibunya Siti Aminah kepada anaknya, Abu Kasim dengan mudah menemukan ayahnya Andi Soko, yang diminta agar kembali ke Banggai.
Andi Soko yang saat itu ditugaskan oleh Raja Majapahit agar menetap di pulau Jawa tentu tidak bisa menerima ajakan anaknya Abu Kasim yang mengajaknya untuk kembali ke Banggai. Sebab itulah Andi Soko menitip pesan untuk Abu Kasim agar mencari saudaranya yang bernama Maulana Prince Madampar yang berada di Pulau Ternate untuk menggantikannya menjadi Raja Banggai.
Setelahnya Abu Kasim kembali melakukan perjalanan menuju Pulau Ternate untuk mencari saudara kandungnya yakni Maulana Prince Madampar. Maulana Prince Madampar merupakan anak pertama Andi Soko dari hasil pernikahannya bersama Kastela, seorang perempuan berdarah Portugis dari Ternate. Setelah Abu Kasim menemukan kakaknya itu yang berada di Ternate, Abu Kasim menyampaikan amat ayah mereka Andi Soko untuk menjemput Maulana Prince Madampar agar dijadikan Raja Banggai.
Sepulang Abu Kasim dari perjalanannya selama 40 hari, kemudian Abu Kasim memberi tahu titah ayahnya, Adi Soko kepada tetua-tetua adat Banggai untuk melantik Maulana Prince Madampar sebagai Raja Banggai menggantikan ayah mereka, Adi Soko. Setelah dilantiknya Maulana Prince Madampar sebagai Raja Banggai baru, Abu Kasim kembali ke Batui untuk menjadi masyarakat pada umumnya, sebelum pulang Abu Kasim ke Batui Abu Kasim dititipkan oleh Maulana Prince Madampar untuk membawa sepasang Burung Maleo agar dipelihara di Batui dengan pesan kalau Burung Maleo bertelur, maka telur pertamanya harus diantarkan ke Banggai dengan jumlah telur yang menggambarkan jumlah keluarga di Batui.
Sepasang Burung Maleo
Burung Maleo atau dalam bahasa latin macrocephalon maleo merupakan hewan endemik yang hanya ditemukan di Sulawesi khususnya di Kabupaten Banggai dan Banggai Laut. Hewan tersebut memiliki warna bulu yang hampir mirip dengan ayam dan memiliki jambul hitam pas di sisi bagian atas hidungnya, hewan ini termasuk dalam kategori hewan unik yang ada di Indonesia terutama bagian Indonesia timur yang memiliki hutan tropis dan daratan yang rendah seperti pulau Sulawesi Tengah.
Terlepas dengan itu semua, hewan tersebut menjadi saksi atas perjalanan kedua kerajaan yang ada di Sulawesi Tengah atau yang dikenal saat ini sebagai Kabupaten Luwuk Bangga dan Kabupaten Banggai Laut (Balut).
Baca juga: Ramadan, Takjil, dan Kerukunan Umat Beragama
Melalui tradisi Mombowa Tumpe masyarakat akan mengingat betapa sangat penting untuk tetap silaturahmi dengan keluarga. Mombowa Tumpe masih tetap dilestarikan oleh masyarakat Banggai khususnya masyarakat Batui, dan serta menjadikan burung Maleo sebagai ikon Banggai. Hal ini dikarenakan untuk menghormati sejarah perjalanan persaudaraan antara Kerajaan Banggai dan kerajaan Banggai Laut (BALUT) dengan tetap menjaga tradisi Mombowa Tumpe agar tetap dilestarikan oleh masyarakat Banggai dan Banggai Laut.
– Bersama Membangun Optimisme –
#optimismemedia #mulaiajadulu #kamibarumulai