Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

Reduksi Hari Ibu pada Masa Orde Baru: Antara Politik dan Transformasi Budaya

Hari Ibu, sebuah perayaan yang ditujukan untuk menghormati peran ibu dalam keluarga dan masyarakat, memiliki sejarah panjang di Indonesia. Namun, pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, perayaan Hari Ibu mengalami serangkaian perubahan yang mencolok. Reduksi Hari Ibu pada masa itu mencerminkan dinamika politik dan transformasi budaya yang mendalam. Seakan-akan dengan klaimnya rezim tersebut berusaha mendisiplinkan kembali pengertian Ibu.

Perayaan Hari Ibu pertama kali diadakan pada 22 Desember 1928 oleh Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta. Pada awalnya, perayaan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan peran ibu dalam pembangunan nasional dan kesejahteraan keluarga. Tradisi ini terus berlanjut hingga masa kemerdekaan, dan Hari Ibu akhirnya diresmikan sebagai hari libur nasional pada tahun 1959.

Reduksi Hari Ibu pada Masa Orde Baru

Dalam Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI (2010), Saskia E. Wieringa menyatakan, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)—yang muncul pada pertengahan abad ke-20—telah melakukan gebrakan revolusioner: mencampurkan sosok Srikandi yang progresif dengan peran tradisional perempuan sebagai ibu. Gerwani menentang keras cara pandang perempuan sebagai pelengkap suami. Bagi mereka, untuk melenyapkan pemahaman macam itu adalah dengan menyediakan akses pendidikan bagi kaum perempuan.

Pada awal Orde Baru pada pertengahan tahun 1960-an, pemerintahan Soeharto berusaha merestrukturisasi sejumlah aspek kehidupan sosial dan politik. Reduksi Hari Ibu merupakan bagian dari upaya tersebut. Pemerintah Orde Baru mengurangi makna perayaan ini dari sebuah momentum pembebasan perempuan menjadi semacam ritual formalitas dan menempatkan perempuan pada dapur, kasur dan sumur.

Pentingnya untuk mencermati perubahan ini dalam konteks politik waktu itu. Orde Baru menekankan pada stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, dan penekanan pada nilai-nilai tradisional menjadi bagian integral dari propaganda pemerintah. Hari Ibu yang semula memiliki makna sosial-politik mengalami perubahan signifikan untuk disesuaikan dengan narasi politik rezim Soeharto.

Pengaruh Politik dalam Reduksi Hari Ibu

Reduksi Hari Ibu pada masa Orde Baru dapat dilihat sebagai manifestasi pengaruh politik dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Pemerintah secara aktif terlibat dalam merancang narasi dan memanipulasi simbol-simbol budaya, termasuk Hari Ibu, untuk mendukung agenda politiknya. Makna perayaan tersebut diubah agar sesuai dengan visi pemerintah tentang peran perempuan dan keluarga dalam masyarakat yang diinginkan.

Pemberdayaan perempuan yang menjadi fokus awal perayaan Hari Ibu diubah menjadi narasi keharmonisan keluarga yang sejalan dengan konsep keluarga yang diinginkan oleh pemerintahan Orde Baru. Pembatasan peran perempuan pada ranah domestik dan penekanan pada nilai-nilai tradisional menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk menciptakan masyarakat yang dianggap lebih stabil dan terkendali.

Transformasi Budaya dalam Reduksi Hari Ibu

Reduksi Hari Ibu pada masa Orde Baru tidak hanya mencerminkan perubahan politik, tetapi juga menggambarkan transformasi budaya yang mendalam. Nilai-nilai tradisional dan norma-norma sosial menjadi lebih dominan, sementara elemen-elemen progresif dalam perayaan Hari Ibu dihapus atau ditekan. Pergeseran ini menciptakan paradigma baru tentang peran perempuan dalam masyarakat, di mana keberhasilan mereka diukur oleh sejauh mana mereka dapat memenuhi norma-norma tradisional.

Efek jangka panjang dari reduksi Hari Ibu pada masa Orde Baru masih terasa dalam masyarakat Indonesia hingga saat ini. Meskipun masa Orde Baru telah berakhir, warisan perubahan budaya ini tetap membentuk persepsi masyarakat tentang peran perempuan dan pentingnya perayaan Hari Ibu.

Reduksi Hari Ibu pada masa Orde Baru mencerminkan interaksi kompleks antara politik dan budaya. Pemerintah Soeharto aktif terlibat dalam mengubah makna perayaan ini untuk mendukung agenda politiknya, sementara transformasi budaya yang terjadi menciptakan paradigma baru tentang peran perempuan dalam masyarakat. Meskipun Hari Ibu kini diisi dengan makna yang lebih inklusif, penting bagi kita untuk memahami bagaimana perubahan pada masa lalu dapat membentuk pandangan kita tentang peran perempuan dalam masyarakat saat ini.

– Bersama Membangun Optimisme –

#optimismemedia #mulaiajadulu #kamibarumulai

Bagikan

Cari Berita

Search

Berita Terbaru

dsss
Santri dan Media: Menyelaraskan Tradisi dan Teknologi
LLLLL
Menyelaraskan Tujuan Pembelajaran dengan Kesejahteraan Ps...
Sumber. Inews.id
Dari Desa Nepo ke Pasar Nasional: Sukses Kacang Nepo Berk...
rrrss
Dari Siwaslih hingga Sigaplapor: Teknologi Bawaslu Siap K...
WhatsApp Image 2024-11-24 at 10.26.46 PM
Seruan FKUB Jateng: Tolak Politik Uang, Hindari Politisas...

Kirim Artikel