Di era yang sudah maju saat ini, sering kali kita dihadapkan dengan berbagai fenomena sosial, termasuk salah satunya adalah mansplaining yang mana akhir-akhir ini semakin marak terjadi. Mansplaining acapkali diartikan sebagai perilaku seorang pria yang menjelaskan secara merendahkan kepada wanita, meskipun apa yang dijelaskan telah diketahui sang wanita. Istilah mansplaining sendiri merupakan asal gabungan dari kata “man” dan “explaining” yang secara harfiah dalam bahasa Inggris berarti tindakan menjelaskan sesuatu oleh seseorang laki-laki.
Sepintas hal tersebut terlihat tidak berbahaya. Akan tetapi istilah mansplaining memiliki konotasi negatif, karana tindakan ini mengacu pada cara laki-laki menjelaskan sesuatu kepada perempuan dengan asumsi bahwa ia sebagai laki-laki lebih berpengetahuan dan berpengalaman ketimbang perempuan (yang menjadi lawan bicaranya). Fenomena ini tentu menyebabkan pihak perempuan merasa direndahkan dan tidak dihargai.
Baca juga: Kaum Radikal dan Keagamaan yang Konsumtif
Seperti halnya yang dipaparkan Elisabeth Bik, seorang pakar mikrobiologi dari Standford University dalam Time. Bik membuat eksperimen sederhana dengan mengamati situasi rapat di tempat kerjanya. Bik mengamati bahwa laki-laki terlihat cenderung untuk menginterupsi perempuan saat mereka sedang berbicara. Dalam akun Twitternya, @MicrobiomDigest, Bik memaparkan hasil penelitiannya bahwa: “Hampir setiap perempuan di dalam rapat tersebut duduk tanpa bersuara, termasuk saya. Sepertinya sulit sekali untuk kami (wanita) berkesempatan bertanya, karena orang-orang lain terus berbicara.”
Sehubungan perilaku interupsi laki-laki terhadap perempuan, Don Zimmerman dan Candance West, pakar sosiologi dari the University of California, melakukan riset dengan membuat 31 simulasi percakapan untuk mempelajari perilaku seksisme. Simulasi tersebut dilakukan 10 percakapan antar perempuan, 10 antar laki-laki, dan 11 sisanya dilakukan antara perempuan dan laki-laki. Dari simulasi yang telah dilakukan, ditemukan ada 7 kali interupsi selama percakapan sesama jenis. Sementara itu, 48 kali interupsi dalam percakapan antara laki-laki dan perempuan, dan 46 di antaranya dilakukan oleh pihak laki-laki.
Dari informasi tersebut menyematkan pesan yang sama, bahwa perilaku seksisme masih merajalela. Hal tersebut disebabkan karena perempuan lebih diasosiasikan dengan sesuatu yang emosional, serta dianggap tidak lebih piawai dan cerdas daripada laki-laki, bahkan sering kali mereka mengalami perlakuan tidak adil. Bagi perempuan, hal ini tentu merupakan situasi yang sangat meresahkan dan berdampak negatif terhadap prespektif dan cara pandangnya. Jika saja hal tersebut dinormalisasi, maka pihak wanita akan sangat dirugikan, karena seberapa keras mereka (wanita) berbicara, pada akhirnya suara mereka pun akan dibungkam.
Deborah Tannen, seorang ahli linguistik dari Georgetown University yang menulis buku You Just Don’t Understand menyatakan bahwa terdapat faktor-faktor yang mendorong langgengnya mansplaining. Deborah menyebutkan “Ketidaksetaraan perlakuan terhadap kedua gender bukan hanya berasal dari perilaku laki-laki, tetapi juga perbedaan gaya berbicara antara keduanya.” Dari perspektif Deborah, laki-laki cenderung berbicara untuk tujuan mendapatkan status, sementara perempuan berbicara guna membentuk koneksi.
Dikotomi gaya, tujuan bicara, dan sikap seksis ini berakar pada peran gender yang berlaku dalam mayoritas masyarakat, yang mana laki-laki diharapkan bertindak hal A dan perempuan melakukan hal B. Ketika perempuan mencoba untuk melakukan hal A, maka pasti akan mendapatkan stigmatisasi bahwa mereka tidak akan mampu melakukannya. Stereotip gender yang telah menjadi budaya seperti ini menjadikan laki-laki diposisikan sebagai superior dalam berbagai bidang.
Konstruksi sosial yang menegaskan bahwa laki-laki lebih kompeten dan berpengetahuan dalam banyak hal secara tidak langsung mendukung terjadinya mansplaining. Hal ini menciptakan dinamika di mana laki-laki merasa berhak menjelaskan berbagai hal kepada perempuan, meskipun topik yang dibicarakan telah menjadi pengetahuan umum bagi perempuan. Tanpa disadari, stereotip gender yang menempatkan laki-laki sebagai pemberi informasi dan perempuan sebagai yang perlu diberi tahu (penerima informasi) telah mengokohkan praktik mansplaining dalam interaksi sehari-hari.
Perlu diingat juga, bahwa tidak semua laki-laki menerapkan perilaku seksisme. Meski banyak hasil studi yang menunjukan perilaku seksis laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai konteks, seperti mansplaining, namun tidak memungkinkan bahwa semua laki-laki melakukannya. Profesor Elizabeth Aura McClinok, Ph.D dalam Psychology Today menjelaskan bahwa wacana tersebut ibarat pisau bermata dua. Gagasan tentang mansplaining bisa saja malah melanggengkan stereotip gender yang menganggap laki-laki sebagai ‘pembawa masalah’. Padahal tidak semua laki-laki berniat untuk melakukan mansplaining ataupun perilaku seksis lainnya. Maka, perlunya pemahaman makna mansplaining guna menghindari resiko penyederhanaan makna yang nantinya bisa mendegradasi laki-laki secara general.
– Bersama Membangun Optimisme –
#optimismemedia #mulaiajadulu #kamibarumulai
Oleh: Rosid Aziz Aditya (Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Raden Mas Said, Surakarta)