Isu mengenai pendidikan memang selalu menjadi sentral. Pasalnya, selain menjadi tolak ukur kemajuan sutau bangsa, pendidikan juga harus bersifat inklusif. Artinya pendidikan bagi semua individu, tanpa memandang perbedaan. Prinsip utamanya ialah bahwa setiap individu memiliki hak untuk menikmati pendidikan berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan dan potensinya serta bersih dari diskriminasi. Namun, melalui UU No 20 tahun 2003 yang mengklasifikasikan satuan pendidikan menjadi tiga yaitu formal, non-formal dan informal menyisakan permasalahan yang cukup serius. Ketimpangan, disparitas dan diskriminasi cukup sering dirasakan oleh mereka yang berada di jalur bukan pendidikan formal. Tentu, untuk menyelesaikan problema ini perlu untuk memberi ruang dialog kepada pemerintah, masyarakat, akademisi, pengajar dan aktivis.
Mahardika (Mahasiswa Berdialektika) pada Rabu 25 Oktober 2023 mengundang pihak terkait untuk merespon terkait isu ketimpangan dalam pendidikan dalam tajuk “Menyelesaikan Ketimpangan Akses dalam Pendidikan Non-Formal”. Dalam sesi tersebut ditemai narasumber Prof. Dr. Bambang Soemardjoko., M.pd (Kepala Prodi Doktor Pendidikan UMS) mewakili akademisi sekaligus pengajar, MT Hassan (Sekum PW IPM Jateng) mewakili aktivis, Agung Purnomo., S. T (Orang tua murid homeschooling) mewakili masyarakat. Juga ditemani Mario Prakoso sebagai moderator.
Baca juga: Moderasi Beragama dan Kerukunan Umat Beragama: Membangun Harmoni dalam Keberagaman
Prof Bambang mengawali diskusi dengan membahas mengenai inklusifitas pendidikan. Menurutnya, pengkategorian satuan pendidikan yang tertuang dalam UU No 20 tahun 2003 masih berada dalam koridor mencerdaskan kehidupan bangsa namun ia menggarisbawahi bagaimana realita yang terjadi di akar rumput.
Senada dengan pendapat Prof Bambang, Agung Purnomo menceritakan fakta di lapangan bahwasanya putrinya yang menempuh pendidikan non formal tidak mendapatkan akses ketika ingin melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi di salah satu program studi terfavorit. Tak lain tak bukan hanya karena raport yang digunakan bukan berasal dari pendidikan formal.
Hal tersebut menjadi pukulan bagi Agung sebagai orang tua dari anak yang berasal dari pendidikan non-formal. Ia mau tidak mau memasukkan anaknya ke program studi lain. Usut punya usut, setelah berjalannya pembelajaran di perguruan tinggi anak tersebut menjadi peraih skor TOEFL tertinggi di fakultasnya dan menjuarai beberapa kompetisi bertaraf nasional.
Baca juga: Moderasi Beragama: Mengurai Paradoks dalam Menjaga Keseimbangan
Sangat disayangkan jika perguruan tinggi yang notabene menjadi peletak dasar nilai pendidikan dan keadilan melakukan tindak diskriminasi terhadap murid yang bukan berasal dari kelompok mayoritas.
Secara lebih lanjut, Agung menyatakan bahwa para murid yang berada pada pendidikan non-formal khususnya homeschooling adalah mereka yang menjadi korban ‘tiga dosa besar pendidikan’ terkhusus bullying (perundungan).
MT Hassan menyatakan bahwa bullying menjadi perhatian khusus bagi IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) untuk segera ditangai dan dihilangkan. Dalam pernyataanya, IPM Jateng memiliki program khusus untuk menangani kasus bullying. Ia juga menyatakan IPM memiliki program beasiswa yang dapat dimanfaatkan oleh murid yang terkendala secara ekonomi tanpa memandang apakah untuk pendidikan formal atau pun non-formal.
Penyetaraan Pendidikan Hanya Slogan
Jika dalam sekolah umum, pengajar dikenal dengan istilah ‘guru’ sedangkan dalam homeschooling dikenal dengan istilah ‘tentor’. Tentu hal ini bukan hanya menjadi pembeda dalam nomenklatur namun berimbas pula pada kesejahteraan mereka. Padahal dari segi beban kerja ‘tentor’ memiliki tantangan khusus ketika menghadapi murid yang berkebutuhan khusus pula.
Di satu sisi, homeschooling menawarkan fasilitas yang menyesuaikan kebutuhan para siswanya. Diketahui bahwa terdapat variasi model sistem belajar homeschooling yaitu, luring dan daring maupun kelompok dan privat. Hal ini yang menjadi kelebihan dari homeschooling yang tidak ditemukan di sekolah umum.
Di satu sisi yang lain, persoalan anggaran pun masih menjadi tanda tanya. Homeschooling yang bagi Agung sangat membantu bagi masyarakat luas dan dapat menampung kejamakan karakteristik siswanya apakah benar-benar mendapat kucuran dana dari pemerintah seperti dan sebesar sekolah-sekolah umum?
Jika hal ini terus dilanggengkan maka pendidikan bukannya menciptakan pribadi-pribadi yang dapat berpikir dan bertindak secara adil malah menciptakan model-model baru ketidakadilan dan membawa bangsa ini ke jurang kemunduran.
Pada pungkasan, para narasumber menyampaikan harapan melalui pesan singkatnya yang menginginkan penyelesaian masalah ini menggandeng semua pihak baik masyarakat, pemerintah, akademisi, pengajar dan aktivis supaya tidak terjadi ketimpangan atas absennya suara salah satu pihak.
Secara lebih megerucut, Agung menegaskan kembali bahwa jangan sampai perguruan tinggi membatasi akses pada murid yang berlatar belakang pendidikan non-formal dengan dalih subyektifitas dan otonomi kampus. (SDH)
– Bersama Membangun Optimisme –
#optimismemedia #mulaiajadulu #kamibarumulai