Hajatan lima tahun sekali atau lazim dikenal dengan pemilu selalu menyuguhkan silat lidah yang tak berkesudahan. Fenomena ini masuk dalam rangkaian politik praktis yang dibingkai dalam media cetak maupun media elektronik. Salah satunya ialah wacana poltik identitas.
Di Indonesia sendiri, poltik identitas menjadi makanan sehari-hari bagi masyarakat. Pasalnya, citra-citra para politikus ini dibungkus dengan simbol-simbol kelompok tertentu dan terpampang jelas pada baliho raksasa di pinggir jalan, stiker mobil, hingga pakaian yang dikenakan masyarakat.
Singkatnya, politik identitas ini diartikan sebagai politik perbedaan. Dimana kedirian subyek menciptakan diferensiasi terhadap subyek yang lain untuk melakukan praktik politik.
Baca juga: Fenomena Hijrah dan Kesemuan Keimanan Pemuda: Antara Spiritualitas dan Transformasi Sosial
Pada mulanya, politik identitas bersifat emansipatoris yang mana berawal dari kesadaran kelompok-kelompok minoritas di Amerika Serikat yang semakin tergerus oleh kelompok mayoritas.
Namun, kini, dalam konteks bangsa kita, politik identitas seringkali diartikan sebagai sesuatu yang cenderung negatif. Tanpa memerhatikan secara konteks yang lebih luas, politik identitas selalu diidentikan dengan praktik politik yang hanya menguntungkan kelompoknya saja.
Pada dasarnya, politik identitas muncul atas kesadaran akan ketidakadilan dan berusaha untuk menumpasnya. Kini telah melebar dan melebur dalam dimensi-dimensi agama maupun etnisitas, dan ideologi yang diwakili oleh elite politik dengan segala artikulasinya.
Memang kebanyakan politik praktik yang dilakukan oleh politisi di negeri ini beranjak dari kelompok mayoritas bukan minoritas. Artinya, mereka yang telah diuntungkan dengan identitas kelompok yang cukup besar berusaha memertahankan status quo dengan mengesampingkan nasib-nasib minoritas. Dengan kata lain, emansipatoris yang perlu digaungkan untuk kaum minoritas berakhir nihil.
Politik identitas seperti ini akan mengarah pada penyaluran aspirasi yang menuju pada pembuatan kebijakan yang hanya akan menguntungkan suatu kelompok semata.
Baca juga: Ekologi dan Masyarakat Adat: Mempertahankan Keseimbangan Lingkungan dan Kearifan Lokal
Maka dari itu, muncul pertanyaan, apakah politik identitas itu selalu buruk? Apakah tidak ada politik identitas yang baik?
Bagi Buya Syafii Ma`arif, kemunculan politik identitas akan membahayakan keutuhan NKRI. Pasalnya, praktik ini cenderung bersikap anti-pluralisme, anti-nasionalisme, dan anti-demokrasi (Maarif, 2012). Mereka hanya akan bersikukuh terhadap identitasnya saja. Tentu, pernyataan tersebut bersandar pada pengalaman demokrasi di negeri ini khususnya setelah kran reformasi dibuka lebar-lebar.
Hal itu berakibat pada munculnya paham-paham kegamaan yang cenderung bersifat radikal dan fundamental ke permukaan, lantas bersuara dan berpolitik. Namun, perlu diperhatikan pula, kelompok seperti ini juga merupakan kelompok minoritas. Yang mejadi persoalan disini cara berpolitik identitas yang mereka lakukan, ditambah dengan ideologi yang mereka bawa. Perlu digaris bawahi bahwa kelompok seperti ini merupakan kelompok yang cenderung puritan, anti demokrasi, anti Pancasila, dan anti keragaman bahkan mengarah pada tindak kekerasan. Ancaman untuk memporakporandakan NKRI begitu kentara dengan paham yang mereka kampanyekan.
Any Guttman dalam karyanya yang berjudul Identity In Democracy membuat klasifikasi keadaban politik identitas yakni, good, ugly, dan bad. Pertama, good, politik identitas yang baik yakni yang memiliki dampak yang baik bagi keberlangsungan demokrasi. Ketika praktik tersebut mengarah pada mengontruksi kesadaran masyarkat, mendukung hak-hak minoritas, anti diskriminatif dan tanpa condong pada supremasi kelompok sendiri serta kebencian pada kelompok liyan (Guttman, 2003).
Kedua, ugly, pada tataran inilah yang sering ditemui pada praktik yang terjadi di Indonesia. Diskriminasi dan supermasi kelompok sendiri menjadi bahan bakar juga menekankan kebencian pada kelompok liyan bahkan melegitimasi kekerasan.
Ketiga, bad, yakni tidak secara aktif mempromosikan demokrasi yang positif namun juga tidak menggiring pada diskirminasi dan kekerasan (Guttman, 2003).
Dari ketiga jenis keadaban politik identitas diketahui bahwa tidak semena-mena politik identitas itu buruk dan negatif.
Dalam negara yang jamak dengan keragaman politik identitas tidak dapat dinafikan. sense of belonging terhadap identitas kelompok tak dapat dipisahkan. Namun yang perlu digarisbawahi ialah bagaimana politik identitas disini dihadirkan untuk melawan ketidakadilan dan mendukung hak-hak kaum minoritas serta menciptakan hawa demokrasi yang sehat.
Maka dari itu, John Stuart Mills ragu terhadap demokrasi yang berada dalam bangsa yang jamak dengan keragaman. Apalagi sentimen terhadap perbedaan.
Lantas bagaiman iklim politik identitas di bangsa ini? Wallahu A`lam
– Bersama Membangun Optimisme –
#optimismemedia #mulaiajadulu #kamibarumulai