Tak asing di telinga kita, namanya begitu lekat dengan ihwal pendidikan. Kontribusinya dalam kancah pendidikan nasional begitu besar. Tak ragu jika beliau dijuluki sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Namun tak diketahui banyak orang jika Ki Hajar pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren.
Dikutip dari laman Nuonline.or.id dipaparkan bahwa Ki Hajar Dewantara pernah nyantri di daerah kalasan Prambanan diasuh langsung oleh Kiai Zainuddin Soeleman Abdurahman. Bahkan dikatakan pula jika Ki Hajar Dewantara adalah penghafal al-Qur`an.
Baca juga: Kebebasan Beragama dan Moderasi Beragama: Pilar Harmoni dan Kehidupan Multikultural
Taman Siswa dan Pesantren Sebagai Pendidikan Kontra Kolonial
Pada masa pemerintahan kolonial belanda, pendidikan hanya dapat diakses oleh warga keturunan belanda saja, walaupun terdapat pribumi yang dapat mengaksesnya, namun hanya dari segelintir kelas priyayi saja. Kenyataan itu begitu pahit, pihak belanda sangsi jika pribumi dapat menempuh pendidikan akan mengancam kekuasaanya di tanah air.
Pendidikan yang diberikan belanda pun hanya menghasilkan tenaga yang pro belanda. Yang nantinya akan dikader oleh pemerintahan belanda. Alias menjadi kacung belanda. Individualitas, egoisitas, materialitstis menjadi poros pendidikan tersebut. Kemanusiaan dan kerakyatan terlihat nihil dalam pendidikan yang digelarnya. Maka dengan kenyataan demikian, Ki Hajar Dewantara berusaha mencounter pendidikan pemerintah kolonial.
Pada sebuah pertemuan PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) di Surabaya, 30 Agustus 1928 Ki Hajar melontarkan ide tentang Nationaal onderwijs (pengajaran kebangsaan) serta menganggap dengan pendidikan yang mengekor pada belanda akan dapat mengurangi kemerdekaan kita (Ki Hajar Dewantara: 1962). Dengan upaya menciptakan konsepsi pendidikan yang orisinil dan berpangku pada kemanusiaan dan kerakyatan Ki Hajar Dewantara menengok pada pesantren.
Baca juga: Budaya Populer dan Fashion: Ekspresi Kreativitas dan Identitas Dalam Era Modern
Dalam media Taman Siswa, Wasita edisi November 1928 Ki Hajar Dewantara menulis sebuah artikel yang berjudul “Systeem Pondok dan Asrama Itulah Systeem Nasional”. Pada artikel tersebut Ki Hajar menggarisbawahi model pengajaran pesantren yang mengintegrasi santri dengan guru yang kini disebut dengan model asrama. Sehingga kekeluargaan dan kemanusiaan juga terjaga tanpa menafikan pengetahuan dan pengajaran.
Sistem tersebut termaktub dalam asas Taman Siswa, yakni Among. Yaitu, sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Para murid dalam sistem tersebut, dididik selama 24 jam penuh sebagaimana orang tua memberikan pelayanan kepada anaknya.
Pada Taman Siswa pengajaran tentang khazanah Nusantara begitu dijaga seperti legenda, mitos, cerita-cerita, kisah-kisah, dan lain sebagainya. Sistem tersebut akan dapat mencengkeram erat para pelajar terhadap sejarahnya, peradabannya, kebudayannya sendiri, bukan seperti yang ditanamkan pendidikan pemerintah kolonial yang menghasilkan buruh pro kolonial semata. Dengan tidak melupakan khazanah Nusantara, yang tentunya akan mendekatkan para murid pada rakyat, serta budi pekerti yang luhur.
Sebagai pendidikan yang humanis dan religius, pendidikan Taman Siswa bertujuan membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, luhur akal dan budinya, cerdas serta sehat jasmani dan rohami, untuk menjadi masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya.
Gagasan national onderwijs seperti yang diutarakan oleh Ki Hajar Dewantara pada kongres PPPKI lalu dipratikkan melalui Taman Siswa. Bagi para peserta kongres tersebut apa yang diutarakan Ki Hajar Dewantara mengarah pada pesantren. Walaupun sama sekali tidak disinggung tentang pesantren. Namun dalam konteks zaman tersebut, tidak ada sama sekali pendidikan serupa yang diucapkan oleh Ki Hajar Dewantara selain pesantren.
ke-orisinalitasan pendidikan tanah air melalui pesantren diadopsi dengan sangat baik oleh Ki Hajar Dewantara. Berbeda dengan pesantren, jika pesantren hanya memelajari ilmu agama, Taman Siswa memelajari berbagai ilmu-ilmu umum namun tetap tidak melupakan aspek relijius. Tentunya, kedua sistem ini, baik Pesantren dan Taman Siswa sebagai counter atas pendidikan pemerintah kolonial yang akan menghasilkan budak-budak pro kolonial.
– Bersama Membangun Optimisme –
#optimismemedia #mulaiajadulu #kamibarumulai