Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I yang juga dikenal dengan nama Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said adalah seorang putra dari Pangeran Arya Mangkunegara, penguasa Kasunanan Mataram-Surakarta dan ibunya bernama Raden Ajeng Wulan. Beliau lahir di Kartasura pada tanggal 7 April 1725.
Di masa mudanya, Mangkunegara I dikenal sebagai ahli strategi dalam perang. beliau memimpin pasukannya untuk melawan tiga kekuatan sekaligus, yakni VOC, Pakubuwono II, dan Hamengkubuwana I. Pada saat Mangkunegara I tengah berusia 19 tahun, ia sudah memulai perjuangannya melawan pemberontakan Laskar Tionghoa di Kartasura pada 30 Juni 1942 untuk menuntut keadilan hak kebenaran atas harkat dan martabat orang-orang Tionghoa dan rakyat Mataram yang pada saat itu masyarakat Tionghoa dan Mataram ditindas oleh VOC Belanda dan rajanya sendiri, yakni Pakubuwono II.
Pasukan Mangkunegara I telah melakukan pertempuran sebanyak 250 kali dalam kurun waktu 16 tahun. Dan ketika ia berjuang melawan VOC, Mangkunegara I mendapatkan julukan Pangeran Sambernyawa karena dalam setiap peperangannya, ia selalu membawa kematian bagi para musuhnya. Mangkunegara I bertahta selama kurang lebih 40 tahun. Ia wafat pada tanggal 23 Desember 1795 dan pada tahun 1983 Pemerintah Republik Indonesia mengangkat Mangkunegara I sebagai pahlawan nasional dan mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputra atas jasa-jasa kepahlawanannya.
Selayang Pandang Tri Dharma Mulat Sarira Hangrasa Wani
Mangkunegara I memiliki semboyan perjuangan dan 3 ajaran yang saat itu harus dipegang oleh pengikut dari Mangkunegara I, namun saat ini 3 ajaran tersebut masih sangat relevan untuk terus dilakukan. Mengenai semboyan perjuangan dari Mangkunegara I yang kala itu digunakan untuk meningkatkan moral, kebersamaan, dan kesatuan rakyatnya dalam berjuang mencapai kemenangan. Semboyan perjuangan itu berbunyi, tiji tibeh; mati siji-mati kabeh yang artinya mati satu-mati semuanya dan mukti siji-mukti kabeh yang artinya sejahtera satu-sejahtera semuanya.
Baca juga: Fakultas Filsafat UGM Inisiasi Program Sekolah Lansia di Bantul DIY
Selanjutnya, adalah 3 ajaran Mangkunegara I yang sampai saat ini masih relevan untuk dan harus diikuti oleh masyarakat Indonesia. Nama 3 ajaran tersebut adalah “tri dharma”. Tri dharma ini merupakan penjabaran dari semboyan perjuangan Mangkunegara I (tiji tibeh; mati siji-mati kabeh, mukti siji-mukti kabeh). Sedangkan bunyi dari tri dharma Mangkunegara I yaitu, “rumangsa melu handarbeni, wajib melu hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani”. Secara singkat pesan ini memiliki arti merasa ikut memiliki, wajib ikut mempertahankan, serta mawas diri dan berani bertanggung jawab.
Pertama, rumangsa melu handarbeni. Adagium ini ia sampaikan setelah dinobatkan menjadi Mangkunegara I. Hal ini disampaikan oleh Mangkunegara I kepada para pengikutnya untuk diteruskan kepada keturunan dan rakyat Mangkunegaran. Melalui prinsip ini, Mangkunegara I ingin menyadarkan kepada para pengikut dan rakyatnya bahwa Mangkunegaran adalah milik bersama sebagai tempat untuk memperoleh sumber kehidupan dari tanah yang berada di wilayah Mangkunegaran. Maka, secara singkatnya rumangsa melu handarbeni berarti merasa ikut memiliki.
Kedua, wajib melu hangrungkebi. Prinsip ini, mengajarkan antara raja dan rakyat untuk selalu bersama-sama, berkewajiban mempertahankan Praja Mangkunegaran. terdapat kesepakatan antara raja dan rakyat untuk merasa memiliki yang dilandasi kala masa perjuangan untuk wajib berjuang mempertahankan Praja Mangkunegara apabila diserang oleh musuh. Prinsip ini melahirkan rasa nasionalisme dan bela negara di Nusantara. Maka, secara singkatnya wajib melu hangrungkebi berarti merasa ikut memiliki, memiliki tanah air Praja Mangkunegaran.
Baca juga: Jokowi Geram Dana Stunting Habis Untuk Rapat dan Dinas Perjalanan
Ketiga, mulat sarira hangrasa wani. Prinsip ini sebenarnya merupakan candrasengkala tahun pendirian Mangkunegaran yaitu 1682 Saka atau 1757 Masehi. Prinsip ini merupakan pedoman utama bagi rakyat saat mendirikan Praja Mangkunegaran. Prinsip ini dimaksudkan untuk memahami diri sendiri dengan cara instropeksi diri agar mampu mengatasi berbagai hambatan yang datang menghalangi untuk memperbaiki diri sendiri. Maka,secara singkatnya mulat sarira hangrasa wani berarti mawas diri dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri.
Ketiga pesan dari pahlawan nasional Pangeran Sambernyawa atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I bagi para pengikutnya tersebut dapat juga dijadikan sebagai pedoman dan pegangan bagi bangsa Indonesia. Konsep kepemimpinan yang dibawa oleh Mangkunegara I tersebut dapat diterima oleh para pengikutnya hingga turun temurun dan sampai saat ini masih relevan untuk terus diikuti. Di dalam ajaran tersebut terkandung nilai-nilai demokrasi, loyalitas, solidaritas, dan rasa kebersamaan, rasa ikut memiliki, mempertahankan, bela negara, serta sikap untuk selalu instropeksi diri dalam bertindak. Ajaran tri dharma ini juga merupakan cerminan dari jiwa Mangkunegara I yang merupakan sosok pemimpin yang bertanggungjawab, berwibawa, menjunjung tinggi solidaritas, selalu mementingkan kepentingan rakyat, dan kepemimpinannya sebagai suri teladan di kalangan Praja Mangkunegaran.
Mulat Sarira Hangrasa Wani Sebagai Kesadaran Diri dalam Bermasyarakat
Namun dalam tulisan ini, saya selaku penulis akan memfokuskan tulsan ini kepada ajaran tri dharma ketiga, yakni mulat sarira hangrasa wani yang ditinjau dari kesadaran diri dalam bermasyarakat. Kesadaran diri dalam bermasyarakat adalah sebuah konsep yang sangat penting dalam kehidupan sosial manusia. Kesadaran diri (instropeksi diri) dapat diartikan sebagai pemahaman dan pengakuan atas diri sendiri, termasuk sikap, nilai, keyakinan, dan tujuan hidup. Dalam bermasyarakat, kesadaran diri merupakan salah satu faktor utama yang menentukan kemampuan seseorang untuk berinteraksi dan berkontribusi dengan masyarakat.
Kesadaran diri dalam bermasyarakat dapat dibagi menjadi dua aspek, yaitu kesadaran akan diri sendiri dan kesadaran akan lingkungan sekitar. Kesadaran akan diri sendiri mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengenali dan memahami karakteristik dirinya sendiri, termasuk kelebihan, kekurangan, minat, dan tujuan hidup. Hal ini penting karena kesadaran diri sendiri memungkinkan seseorang untuk mengembangkan kemampuan dan potensi dirinya secara optimal, serta membangun rasa percaya diri dan mandiri.
Sementara itu, kesadaran akan lingkungan sekitar mengacu pada kemampuan seseorang untuk memahami dan menghargai kondisi dan kebutuhan lingkungan di sekitarnya, termasuk orang-orang dan masyarakat di sekitarnya. Hal ini penting karena kesadaran akan lingkungan sekitar memungkinkan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain secara efektif dan membangun hubungan yang sehat dan positif dalam kehidupan bermasyarakat.
Baca juga: MUI Rekomendasikan Pimpinan Ponpes al-Zaytun Diproses Hukum
Dalam kehidupan sosial, kesadaran diri juga memungkinkan seseorang untuk lebih peka terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat, serta memperkuat kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dan bertanggung jawab dalam konteks sosial dan politik. Kesadaran diri juga membantu seseorang untuk menemukan makna dan tujuan dalam kehidupannya, serta memotivasidirinya untuk berkontribusi secara positif bagi masyarakat.
Oleh karena itu, kesadaran diri dalam bermasyarakat sangat penting bagi setiap individu untuk membangun kehidupan yang sehat, berarti, dan produktif dalam konteks sosial dan politik. Seseorang yang memiliki kesadaran diri yang tinggi akan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal dan juga berkontribusi secara positif bagi masyarakat. Oleh karena itu, setiap individu harus berusaha untuk meningkatkan kesadaran dirinya salam bermasyarakat, baik dari segi kesadaran akan diri sendiri maupun kesadaran akan lingkungan sekitarnya.
– Bersama Membangun Optimisme –
#optimismemedia #mulaiajadulu #kamibarumulai
Oleh: Setiyani Eky Wardani (Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Raden Mas Said Surakarta)