Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

Perempuan di Mata Bung Karno

Soekarno dikelilingi Marylin Monroe, Elizabeth Taylor dan Jackie Kennedy saat berkunjung ke Amerika. (Sumber: Istimewa)

“Soal perempuan adalah soal masyarakat”

Begitulah klausa yang diucapkan oleh Bung Karno pada masterpiece-nya tentang perempuan, yang berjudul “Sarinah”.

Bung Karno memiliki gelora yang tinggi dalam membaca, menelaah dan melahap buku. Segala macam buku dibacanya, dari politik, ekonomi, sejarah, sosial hingga agama. Bahkan Bung Karno dijuluki kawan-kawannya sebagai “Hantu Buku” karena spiritnya tersebut. Semangat ini tidak begitu mengherankan jika nantinya Bung banyak menuliskan risalah-risalah baik dalam bentuk buku maupun surat.

Setidaknya ada 4 buku karangan Bung Karno yang masih banyak dibaca hingga sekarang, seperti “Indonesia Menggugat” yang merupakan hasil kontemplasi Bung Karno ketika menjadi tahanan politik. Dalam karyanya tersebut Soekarno Muda banyak mengulas tentang kekejian imperialisme terhadap penjajahan yang dilakukan di negeri jajahan.

Lanjut, “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” yang pertama kali dimuat di majalah “Oetoesan Hindia”. Tulisan tersebut lahir dari perjalanan BK pada masa pergerakan nasional. Terdapat pula karyanya yang merespon umat Islam di Indonesia yakni “Islam Sontoloyo”. Pada manuskripnya tersebut dianggap paling ekstrem dalam menggugat cara berpikir umat Islam di Indonesia. Pada akhirnya pun karya tersebut menghantarkan BK dalam polemik sengit dengan tokoh Islam sekaliber Mohammad Natsir.

Kemudian, karya yang fenomenal namun banyak mengundang pertanyaan yang dialamatkan langsung pada BK, ya, perihal poligami yang dilakukannya sendiri. Yakni, “Sarinah” karya tokoh Indonesia pertama yang membicarakan perempuan progresif.

Lebih lanjut, karya tersebut memaparkan tentang pentingnya kedudukan, peranan dan sumbangan kaum perempuan terhadap perjuangan nasional.

Perempuan Sebagai Sumber Kekuatan

Berpijak pada hadist Nabi Muhammad SAW yang bersabda “Perempuan itu tiang negeri, manakala perempuan baik, maka baiklah negeri itu. Manakala perempuan rusak, maka rusaklah negeri itu”. Hal serupa dihaturkan BK pada pendahuluan buku “Sarinah” dengan mengatakan bahwa “Soal Perempuan adalah soal masyarakat”.

Pada karyanya tersebut BK banyak mengutip pendapat para ahli-ahli tentang mitos-mitos perempuan. Alasan kecerdasan perempuan berada dibawah rata-rata atau laki-laki ditolak oleh BK. Memang, konteks zaman tersebut menganggap perempuan sebagai barang berharga yang dipuja namun hanya disimpan saja. Tidak memberi gerak yang luas bagi perkembangan dirinya.

Henriette R. Holst, membuktikan bahwa ketajaman otak perempuan dan laki-laki sama, kemampuannya sama, hanya kesempatan bekerjanya yang tidak sama (Sukarno, 2010:7).

Pun mengutip dari Charles Darwin, baginya, otak laki-laki memang lebih banyak dari otak perempuan tetapi jika dihitung dalam perbandingan dengan lebih besarnya badan laki-laki apakah benar otak laki-laki lebih besar? Jika dihitung otak perempuan rata-rata 23,6 per kg tubuh dan otak laki-laki rata-rata 21,6 per kg tubuh, jika demikian semestinya perempuan lebih pandai dari laki-laki (Sukarno, 2010:27).

Realitas zaman tersebut menjadi lebih parah ketika anggapan berjuang di medan perang lebih mulia ketimbang menerima benih, mengandung, melahirkan dan menyusui. Penghinaan, menganggap remeh, menjadikan obyek banyak dialamatkan pada perempuan pada zaman tersebut.

Namun, jika melihat sejarah, kegemilangan bangsa Yunani runtuh dikarenakan penghinaannya terhadap perempuan. Juga Arab pra-Islam tidak akan menjadi bangsa yang berkembang jika tidak selamatkan oleh Islam yang begitu menghargai Perempuan.

Martiarkat atau Patriarkat?

Perihal perempuan memiliki derajat yang mulia tidak dapat diasumsikan dengan diberlakukannya matriarkat. Walaupun terlihat memberdayakan dan memuliakan akankah hal tersebut malah membawa keangkuhan bagi perempuan? Hanya mencari keselamatannya sendiri?

Bung Karno tidak menyepakati antara matriakt dan patriarkat. Idealitas atas berbagai isme yang berkembang di luar Indonesia haruslah difilter dan diserap sesempurna mungkin. Mengingat latar belakang suatu bangsa berbeda dengan bangsa yang lain.

Memang, sistem matriarkat pernah menjadi arus utama dalam suatu peradaban. Namun tidak zaman Soekarno hidup. Tidak pula hari ini. Keduanya, antara perempuan dan laki-laki seyogyanya membangun kolaborasi yang baik dalam menganggapi segala persoalan.

Kemerdekaan perempuan merupakan satu tujuan yang harus digapai bersama yakni, antara laki-laki dan perempuan.

Bagikan

Cari Berita

Search

Berita Terbaru

dsss
Santri dan Media: Menyelaraskan Tradisi dan Teknologi
LLLLL
Menyelaraskan Tujuan Pembelajaran dengan Kesejahteraan Ps...
Sumber. Inews.id
Dari Desa Nepo ke Pasar Nasional: Sukses Kacang Nepo Berk...
rrrss
Dari Siwaslih hingga Sigaplapor: Teknologi Bawaslu Siap K...
WhatsApp Image 2024-11-24 at 10.26.46 PM
Seruan FKUB Jateng: Tolak Politik Uang, Hindari Politisas...

Kirim Artikel