Perselisihan, pergolakan, kekerasan memang menjadi momok yang menakutkan bagi keberlangsungan hidup yang berporos pada kedamaian. Apalagi Indonesia yang menjadi negara yang terdiri dari suku, ras, adat, dan agama yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut perlu dipayungi dengan aturan-aturan dan pengetahuan tentang sikap toleransi, menghormati, dan keindahan dalam perbedaan agar tidak terjun dalam perselisihan dan kekerasan. Maka dari itu, Moderasi Beragama menjadi payung atas keberagaman dan perbedaan dalam konteks agama yang ada di Indonesia.
Melihat pendidikan saat ini seakan hanya terfokuskan pada pendidikan formal atau dalam artian yang memakai seragam dan pergi ke sekolah. Seakan menutup mata atas lembaga pendidikan non-formal yang notabene juga mengajarkan ilmu dan mendidik budi pekerti murid. Bagi penulis, semua lembaga pendidikan memiliki peran vital yang sama dalam mendidik dan mengajarkan kebaikan pada murid.
Dalam konteks Moderasi Beragama, pendidikan menjadi langkah strategis untuk menanamkan nilai-nilai Moderasi Beragama demi menjaga keharmonisan dan kerukukan umat beragama. Memang, pendidikan formal memiliki kurikulum sedemikian rupa, sehingga dapat disinergikan dengan visi dari bangsa ini. Namun, apakah jika hanya menitikberatkan pada pendidikan formal tanpa memerhatikan pendidikan non-formal dan informal akan terwujud visi tersebut?
Sebelumnya, kita mengetahui 3 model pendidikan yang telah ditetapkan, yakni, Pendidikan Formal, Pendidikan Non-Formal, dan Pendidikan Informal. Walaupun sebagian dari kita hanya mengetahui pertama dan kedua juga menganggap yang pertama lebih penting ketimbang yang lainnya. Pandangan tersebut harus diluruskan. Mari kita bedah satu per satu secara rinci.
Pendidikan formal yakni pendidikan yang sistematik dan nantinya para lulusannya diwisuda dan diberikan ijazah yang dapat digunakan untuk mendaftar kerja. Contoh dari pendidikan formal ialah TK/RA, SD/MI, SMP/Mts, SMA/MA. Faktor ijazah yang diberikan sekolah formal inilah yang sering kali dijadikan alasan pokok mengapa pendidikan formal lebih penting ketimbang pendidikan lainnya. Ya, orientasinya nanti untuk bekerja. Pandangan seperti itulah yang perlu ditebas, sebab pendidikan tidak hanya untuk bekerja, namun lebih dari itu.
Pendidikan non-formal yakni pendidikan yang sistematik dan nantinya para lulusannya diwisuda pula (tergantung lembaganya) tetapi ijazahnya jarang bisa digunakan untuk mendaftar kerja. Pondok Pesantren, Bimbel, Sanggar, Kurus, Madrasah Diniyah hingga Majelis Ta`lim merupakan contoh dari jenis pendidikan non-formal. Sedangkan pendidikan informal yakni pendidikan yang ada dalam kehidupan sehari-hari, seperti keluarga, lingkungan, dan lain sebagainya. Baik pendidikan non-formal maupun informal seringkali dipinggirkan dan dianggap tidak penting. Hanya karena tidak bisa untuk mendaftar jadi pekerja nantinya.
Walaupun beberapa Pendidikan Non-Formal seperti Pondok Pesantren telah menanamkan pada santrinya tentang nilai-nilai moderasi beragama . Namun, melihat selain pondok pesantren, sangat diperlukan pula untuk menamkan nilai-nilai tersebut secara menyeluruh dan lebih mendalam tanpa terkecuali.
Pendidikan secara menyeluruh bukan hanya soal nanti ijazahnya bisa untuk mendaftar kerja. Namun, lebih pada membentuk pribadi yang luhur, yang berorientasi pada perdamaian dan cinta kasih. Peminggiran pendidikan non-formal dan informal berakibat pada dijadikanya pendidikan formal sebagai fokus utama tanpa memerhatikan jenis pendidikan lainnya. Mengingat kehidupan tidak hanya di kelas, di kantin dan di sekolah namun ada kehidupan luar dan lebih kompleks dari kehidupan di sekolah.
Apalagi sekarang tidak sedikit pula murid yang merasa bosan dan tidak betah di sekolah “sering meninggalkan jam pelajaran”, dengan alasan durasinya yang terlalu lama, metode pengajaran yang tidak maksimal. Dengan dasar itu, maka jika Moderasi Beragama hanya dinisbatkan pada pendidikan formal akan mencapai hasil yang jauh dari angka maksimal.
Lebih dari itu, para murid lebih menyukai pendidikan yang berada di luar ruang kelas, di luar sekolah, dan di luar jam yang ditetapkan oleh pendidikan formal di sekolah. Tentu hal ini akan menambah kemungkinan-kemungkinan tidak terserapnya secara penuh penanaman Moderasi Beragama dalam ranah pendidikan.
Maka dari itu, penanaman nilai-nilai Moderasi Beragama tidak hanya dilaksanakan dalam lingkup pendidikan formal saja. Namun juga melibatkan jenis-jenis pendidikan lain dalam upaya yang sama. Terlebih, jika berharap dapat memaksimalkan upaya penanaman nilai-nilai Moderasi Beragama tidak hanya berhenti pada sektor pendidikan saja. Perlunya internalisasi nilai-nilai Moderasi Beragama dalam berbagai sektor, seperti politik, ekonomi, budaya, masyarakat, dan lain sebagainya. Wa Allahu A`lam