Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

Skena (Musik) Dangdut: Melampaui Batas-batas Budaya Populer

Oleh : Satrio Dwi Haryono

Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Slogan yang biasa dinisbatkan untuk sebuah sistem pemerintahan, yakni demokrasi. Namun disini berbeda, slogan yang sama digunakan untuk suatu budaya, yang diamini banyak orang, yakni budaya populer. Dalam maknanya, memiliki banyak padanan kata seperti, mass media, common culture, folk culture dan lain sebagainya.Sepintas, definisi budaya populer yaitu arus utama budaya melalui konsensus informal khalayak ramai. Sejalan dengan pengertian yang ada dalam buku Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction karya John Storey yang dipaparkan bahwa budaya populer merupakan budaya yang disukai banyak orang, dibuat secara sengaja, bersifat inferior dan hanya untuk bersenang-senang.

Sebelum menginjak pada pembahasan yang lebih dalam, menurut kategorinya, budaya dibagi menjadi 3, yakni high culture, low culture, dan popular culture. Dari ketiga bentuk culture tersebut, antara dua dan tiga memiliki kesamaan. Sebagian tokoh studi budaya memilih untuk menyatukan antara yang kedua dan ketiga. John Storey yang menulis risalah panjang mengenai teori budaya dan budaya populer juga menyatukan antara yang kedua dan ketiga.

Pertama, high culture, yakni budaya yang lahir dari, oleh, dan untuk kalangan tinggi. Lazimnya, dalam kalangan ini menyebut manifestasi budaya atasnya memiliki nilai seni yang tinggi. Musik jazz, musik teatrikal, opera, lukisan merupakan bagian dari perwujudan budaya tinggi tersebut. Kedua, low culture, jika dalam sorotan John Storey, low culture merupakan padanan dari pop culture yakni sebagai budaya yang dihasilkan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Namun, dalam praktiknya, budaya populer menjadi suatu muara pelarian baru terhadap high culture karena ekslusivitasnya. Tidak hanya berhenti pada ajang pelarian, budaya pop juga sebagai ajang perlawanan terhadap budaya tinggi yang hanya dinikmati oleh kalangan tertentu.Dari hierarki budaya tersebut menaruh status sosial dalam produksi maupun konsumsi atas budayanya masing-masing. Budaya tinggi yang menyuguhkan kesenian bernilai tinggi dikonsumsi para elitis, yang turut pula mengukuhkan identitas elitis konsumen budaya tersebut.

Sejalan pula dengan budaya rendah, yang juga mengafirmasi identitas rendahan atas budaya yang dikonsumsinya.Bukan Sekadar Budaya PopBudaya pop, seperti yang dipaparkan di atas, banyak menyisakan sekat-sekat. Sekat status sosial yang menjadi identitas konsumen budaya tersebut sangatlah lebar. Jika dalam dunia fashion identitas konsumen berada dalam citra merek yang mereka konsumsi. Prototipe “cool” atau keren akan terus diproduksi oleh suatu label yang menggandeng berbagai tokoh-tokoh terkenal. Disini persoalan identitas terus digempur. Budaya dilegitmisasi yang berlanjut dikomersialisasi melalui citra tokoh-tokoh terkenal. Sehingga dapat menyakinkan bahwa budaya yang dikomersialisasikan tersebut merupakan budaya elit yang dilabeli nilai seni tinggi namun juga dengan bandrol yang selangit.Dangdut kini berbeda dengan yang lalu. Pergeseran yang cukup signifikan ini mengukuhkan kembali eksistensi dangdut di kancah lokal, nasional, maupun internasional.

Jikalau dangdut dulu hanya dinyanyikan oleh seorang perempuan, kini tak sedikit biduan laki-laki yang turut menggoyang panggung-panggung pentas musik dangdut. Pandangan lama mengenai dangdut sebagai musik yang lekat dengan para pemabuk di kampung-kampung, kini mulai bergema di cafe-cafe perkotaan. Juga, di sela-sela jam istirahat kantor bahkan selepas berkhidmat upacara kemerdekaan 17 Agustus-an di Istana Negara beberapa waktu yang lalu pun turut bergoyang, akhir-akhir ini pun, meledaknya konser-konser dangdut yang diadakan di berbagai kota besar dengan harga tiket masuk yang cukup apresiatif untuk musik yang dulunya dilabeli sebagai musik kampungan ini.

Bahkan, dangdut telah masuk ke kampus-kampus yang dapat menggoyang para mahasiswa-mahasiswa ditengah-tengah kesibukan perkuliahan.Lebih-lebih banyak acara lokal yang bernuansa keagamaan pun tidak luput dari sentuhan dan gertakan ketipung dangdut. Kini, dangdut yang sering digolongkan dalam kategori low culture atau popular culture terus bernegosiasi dengan berbagai kategori-kategori yang menyeratinya. Bahkan kategori hasil studi para akademisi budaya tentang budaya populer pun merasa gagal dalam membaca fenomena menjamurnya dangdut sebagai pop culture ini.Dangdut bukanlah musik para elitis namun bukan pula musik orang-orang kampung, namun musiknya seluruh rakyat Indonesia.

Bagikan

Cari Berita

Search

Berita Terbaru

dsss
Santri dan Media: Menyelaraskan Tradisi dan Teknologi
LLLLL
Menyelaraskan Tujuan Pembelajaran dengan Kesejahteraan Ps...
Sumber. Inews.id
Dari Desa Nepo ke Pasar Nasional: Sukses Kacang Nepo Berk...
rrrss
Dari Siwaslih hingga Sigaplapor: Teknologi Bawaslu Siap K...
WhatsApp Image 2024-11-24 at 10.26.46 PM
Seruan FKUB Jateng: Tolak Politik Uang, Hindari Politisas...

Kirim Artikel