Pluralitas masyarakat Indonesia merupakan realita yang nyata. Berbagai suku, agama, bahasa, etnis saling hidup berdampingan di negara kesatuan Indonesia. Dengan falsafah hidup bangsa Indonesia secara eksplisit tercantum dalam lambang negara yang bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang mengandung makna “beraneka ragam (suku bangsa, agama, bahasa) namun tetap satu (Indonesia). Berdasarkan data resmi dari www.indonesia.go.id struktur dan komposisi penduduk Indonesia untuk kelompok suku bangsa menurut Sensus Penduduk 2010 memperlihatkan Suku Jawa yang berasal dari Pulau Jawa bagian tengah hingga timur sebagai kelompok suku terbesar dengan populasi sebanyak 85,2 juta jiwa atau sekitar 40,2 persen dari populasi penduduk Indonesia.
Keragaman Suku, Agama, dan Bahasa
Berdasarkan Suku, Suku Jawa merupakan Suku terbesar di Indonesia. Suku Jawa dalam hal ini mencakup Suku Osing, Tengger, Samin, Bawean atau Boyan, Naga, Nagaring dan suku-suku lainnya. Suku bangsa terbesar kedua adalah Suku Sunda yang berasal dari Pulau Jawa bagian barat dengan jumlah mencapai 36,7 juta juwa atau 15,5 persen. Suku Batak menyusul sebagai terbesar ketiga dengan jumlah mencapai 8,5 juta jiwa atau 3,6 persen yang berasal dari Pulau Sumatra bagian tengah utara. Terbesar ke empat adalah Suku asal Sulawesi selain Suku Makassar, Bugis, Minahasa dan Gorontalo. Jumlah terbesar keempat ini sendiri merupakan gabungan dari 208 jenis suku bangsa Sulawesi, Untuk terbesar kelima adalah Suku Madura yang berasal dari Pulau Madura di sebelah timur utara Pulau Jawa yang populasinya menyebar cepat di berbagai wilayah Indonesia hingga mencapai 7,18 juta jiwa atau sekitar 3,03 persen dari populasi penduduk Indonesia.
Sedangkan dari sisi pemeluk agama di Indonesia dari jumlah yang paling banyak berturut-turut adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, dan agama lainnya. Pada tahun 2010 pemeluk agama Islam mencapai 207,2 juta jiwa atau 87,18 persen, selanjutnya agama Kristen sebesar 16,5 juta jiwa atau 6,96 persen, Katolik 6,9 juta jiwa atau 2,91 persen, kemudian agama Hindu 4,01 juta jiwa atau 1,69 persen, dan terbesar kelima adalah agama Budha sebesar 1,7 juta jiwa atau 0,72 persen. Sementara itu agama Khong Hu Cu, yang tercatat sebagai agama yang paling akhir diakui pemerintah Indonesia mempunyai pemeluk sebesar 127,1 ribu jiwa atau 0,05 persen. Selanjutnya terlihat dari penggunaan bahasa daerah yang cukup besar dalam kehidupan seharai-hari. Sebesar 79,5 persen penduduk Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk 2010 menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa keseharian dan rumah tangga. Sedangkan 19,9 persen menggunakan bahasa Indonesia, sisanya sebesar 0,3 persen menggunakan bahasa asing.
Kewaspadaan Politik Identitas
Dari fakta dan data kita tahu bahwa bagaimana keragaman identitas masyarakat Indonesia sangat lah gamblang kita lihat. Pluralitas masyarakat Indonesia bisa menjadi sumber kekayaan dan sekaligus berkah bagi bangsa indonesia jika kita lihat dengan dampak positif. Namun jika kita telik dari dampak negatif yang ditimbulkan yaitu rentannya perpecahan, konflik, dan intoleransi. Apalagi setiap jelang kontestasi politik perbedaan ataupun pluralitas Indonesia, melalui politik identitas digiring dimain oleh banyak oknum kearah bilik-bilik yang perpecahan. Keberagaman yang awalnya menjadi suatu keindahan perbedaan nan kaya dinegeri berubah menjadi konflik intern yang menjadi bola api perpecahan dinegeri ini.
Selanjutnya politik identitas melalui Agama menjadi hal yang seperti lumrah maupun di pertontonkan oleh oknum maupun elit politik. Sebenarnya dua hal yang berbeda antara Politik dan Agama, namun di campur adukan di dalam wadah yang bernama politik identitas yang dijadikan senjata oleh oknum maupun elit politik. Religiusitas yang bersifat doktrin pembenaran yang hakikatnya datang Tuhan yang dipercayai antar pemeluknya dipaksa masuk bilik yang dengan pembenaran relatif dari kelompok ataupun elit-elit politik. Isu sensitif seperti ini menjadi sangat krusial dinegeri ini, melihat keragaman dan perbedaan bangsa Indonesia haruslah kita jaga bukan malah sebaliknya menjadi komoditas yang dijajankan saat jelang politik praktis, yang kadang kala justru mencederai keharmonisan dan kerukunan yang ada.
Penulis: Wahyu Tri Wibowo
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
e-mail : wahyutwb@gmail.com)