Masuknya bangsa eropa di tanah Nusantara adalah pintu gerbang penindasan bagi masyarakat pribumi. Atas dalih perkembangan ilmu di zaman Aufklarung Bangsa Eropa menganggap bahwa dirinya adalah satu-satunya penduduk di muka bumi yang telah sampai pada taraf kecerdasan yang sejatinya. Hal tersebut terjadi ketika bangsa Eropa melalui proses peralihan panjang dari kepercayaan terhadap hal mistis yang kemudian mereka murnikan menjadi pengetahuan. Mereka beranggapan bahwa kepercayaan terhadap dewa-dewa tidak bisa dipertanggung jawabkan atas keberadaannya dan hanya terletak dalam kisah-kisah yang dirujukkan kepada nenek moyang mereka. Bisa dikatakan, kala itu adalah upaya untuk mencapai kebahagiaan serta kesempurnaan umat manusia tanpa harus sampai pada surga yang banyak dikisahkan oleh tokoh-tokoh gereja. Mereka meyakini bahwa kebahagiaan dan kesempurnaan bisa mereka tempuh dengan cara mengolah akal rasio (pengetahuan). Karena kenyataan dan keberadaan yang sesungguhnya adalah kehidupan yang dialami dan nampak ini. Serta, kekuasaan gereja yang banyak berdalih tentang religiusitas hanya menciptakan keterpurukan, ketergantungan, dan penderitaan atas ketakukan terhadap kepercayaan doktrin-doktrin gereja ”yang hanya sebuah kisah”.
Jika ide tentang kebahagiaan adalah sebuah tujuan yang mereka yakini, lantas mengapa ketika mereka datang di tanah Nusantara justru banyak menindas masyarakat pribumi? Bagaimana bisa ide tentang kebahagiaan itu justru berbanding terbalik dengan prakteknya?
Jangan salah, sebuah pengetahuan yang dibawa oleh bangsa Eropa ke tanah Nusantara tidak semurni pengetahuan yang diolah di tanah asalnya. Ditambah ketika mereka sampai di Nusantara masyarakat pribumi masih berkepercayaan terhadap hal-hal mistik (seperti menyembah batu, pohon, dewa-dewa), mereka memaknai pola kehidupan masyarakat pribumi masih jauh dari beradap, mereka menganggap masyarakat pribumi tak selayaknya manusia normal yang tidak memakai rasio (pengetahuannya) untuk berperilaku selayaknya manusia yang memiliki rasio.
Atas dasar itu bangsa Eropa melakukan suatu “proyek” pemberadaban bagi masyarakat pribumi. Namun, alih-alih diberadabkan, masyarakat pribumi justru ditindas dan diperbudak oleh bangsa eropa, bukannya dicerdaskan malah-malah dijadikan budak dan pekerja tanpa upah yang setara dengan tenaganya. Termasuk politik etis yang diberikan oleh Belanda “yang katanya” sebagai balas budi terhadap masyarakat pribumi pun memiliki maksud dan tujuan lain, bukan sekedar balas budi. Akan tetapi sebuah proyek rahasia untuk menguntungkan pihak Belanda.
Belanda mengatakan politik etis itu sebagai progam “balas budi” bagi masyarakat pribumi, didalam program itu terdapat tiga hal yang dilakukan oleh Belanda, Edukasi, Emigrasi, Irigasi. Lantas dimana letak proyek rahasia tersebut? Mari kita lihat dari sudut pandang lain.
Pertama, edukasi yang dimaksud oleh belanda bukanlah mencerdaskan masyarakat pribumi, akan tetapi agar masyarakar pribumi bisa menulis, membaca dan menghitung, kemudian mereka dijadikan sebagai buruh pabrik gula Belanda. Kedua, emigrasi adalah pengurangan suatu daerah padat penduduk dengan cara memindahkan sebagian penduduk ke suatu tempat yang lebih sepi penduduk. Pada konteks ini, pemindahan penduduk memiliki maksud lain, agar penduduk yang dipindahkan tersebut melakukan pembukaan lahan dihutan yang telah disiapkan oleh belanda (tempatnya masih di hutan Indonesia). Pembukaan lahan tersebut ditujukan untuk menambah bahan baku produksi tebu bagi pabrik gula milik Belanda. Ketiga, irigasi adalah proyek pembangunan aliran air untuk kebutuhan air bagi sektor pertanian. Tak jauh juga, bahwa proyek irigasi juga untuk memenuhi kebutuhan suplai air bagi sektor pertanian Belanda, tanpa terkecuali lahan tebu. Perlu diingat juga bahwa pekerja dari semua proyek Belanda tersebut juga masyarakat pribumi yang upahnya tidak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan. Semua kelicikan itu dilakukan oleh Belanda demi menyongsong hasil produksi yang meningkat dan menguntungkan bagi pihak Belanda
Seoekarno Muda
Munculnya Soekarna diantara kepelikan kondisi Indonesia saat itu ibarat abad pencerahan di Eropa. Lahirnya pemikiran-pemikiran dari Soekarno memicu sebuah semangat baru bagi masyarakat pribumi untuk melakukan gerakan perlawanan dari semua elemen masyarakat pribumi, tanpa terkecuali. Namun, untuk membangkitkan api perjuangan itu Soekarno harus merasakan getir dan pahitnya belajar serta memahami kondisi bangsanya. Soekarno harus merasakan betapa sengsara didalam penjara-penjara Belanda karena pidatonya yang selalu melantangkan perlawanan terhadap kolonialisme dan feodalisme Belanda. Melalui mimbar-mimbar dia berpidato untuk menyambung api perjuangan rakyat Indonesia, hingga ia disebut-sebut sebagai “singa podium”.
Kesadaran Soekarno tentang ketertindasan masyarakat pribumi muncul ketika dia bertemu seorang petani. Soekarno melontarkan beberapa pertanyaan kepada petani tersebut dan dijawab sedemikian rupa hingga mendapat kesimpulan, bahwa petani terebut bekerja di ladangnya sendiri, hasilnya dinikmati sendiri dan diloah sendiri dengan alat produksi seadanya karena itu kepemilikannya sendiri. Hasil produksi itupun hanya bisa dinikmati sewaktu itu saja, tidak bisa untuk pegangan dihari esok bahkan untuk menabung juga tidak mungkin. Dari situlah Soekarno sadar bahwa masyarakat pribumi tertindas oleh sistem feodal yang menyengsarakan masyarakat pribumi. Soekarno kemudian menyebut masyarakat yang senasib karena penindasan Belanda dengan sebutan kaum Marhaen.
Konsepsi tentang Marhaen benar-benar dipikir matang oleh Soekarno, hingga dia mencetuskan konsep-konsep Marhanisme, antara lain Marhaen adalah kaum yang tertindas oleh kolonialisme dan imperialisme; Kaum Marhaen terdiri dari semua golongan, ras, tempat tinggal, dan dari segala aspek kehidupan; Marhaenisme memiliki tujuan terbebas dari kemiskinan dan mampu merubah nasib; Marhaenisme juga ditujukan untuk menghilangkan penindasan; dan, kemerdekaan nasional merupakan sebuah jembatan yang perlu diperjuangkan untuk menggapai keadilan, kemakmuran, kebebasan dari ketertindasan serta kemiskinan.
Kaum Marhaen Pasca-Kolonialisme
Dewasa ini, ternyata masih sering ditemukan kaum Marhaen yang lebih tertindas lagi. Berbeda dengan kaum Marhaen era yang ditemui Soekarno kala itu, kaum Marhaen kali ini tidak hanya petani-petani kecil, tetapi juga buruh-buruh pabrik yang mengabdikan hidupnya pada sistem feodal pabrik. Bukan tanpa alasan, mereka menjalani itu dengan keterpaksaan, skill tidak punya dan pengalaman Pendidikan juga minim.
Sayang sekali, setelah Soekarno tiada dan Indonesia telah merdeka dari kolonialisme benih-benih feodal masih menjalar didalam anak-cucu antek-antek kalonial. Lebih parahnya, sistem feodal itu kian menekan hak-hak para buruh.
Bagimana tidak, ketika para kapitalis itu dibentengi oleh para penguasa yang rakus selama itu pula sistem feodal akan selalu hidup dan bernafas panjang. Ditambah lagi agama yang semakin kesini justru tidak mendamaikan perkara itu seperti era perjuangan tiga kaum, nasionalis, komunis dan agama. Parahnya, sistem seleksi penerimaan Angkatan kerja hanya sebagai formalitas. Orang-orang yang memiliki jabatan di pabrik-pabrik hanya akan memasukkan orang yang dekat dengannya saja. Mencerminkan bahwa sistem feodal benar-benar penyakit kronis bagi bangsa Indonesia. Sama halnya Pendidikan, bahwa pelajar yang diceak di sekolah-sekolah hanyalah dibentuk untuk menjadi seorang pegawai. Diperlicin lagi dengan doktrin-doktrin sosial media yang memutus urat kecerdasan.
Kita tidak bisa menyalahkan bangsa lain kali ini. Permasalahan ini ada pada bangsa sendiri dan dibuat oleh bangsa sendiri. Pemusnahan sistem-sistem yang menindas harus segera digencarkan. Jiwa Soekarno muda harus tumbuh dalam hati setiap generasi bangsa Indonseia. Tak cukup bilamana kisah Soekarno hanya menjadi penggalan kalimat “jasmerah”. Perjalanan kemerdekaan kala itu harus diabstraksikan kembali di era saat ini, dengan asas-asas perjuangan yang harus diolah kembali.